OPINI
Indonesia 2045: Utopis Tanpa Inovasi Sains
Oleh: Rioberto Sidauruk*
Baru-baru ini, sebuah angin optimisme berhembus kencang dari Beijing, membelah kabut pesimisme ekonomi global yang tengah menyelimuti banyak negara.
Seperti dilansir dari South China Morning Post (SCMP), ekonom terkemuka sekaligus mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Justin Lin Yifu, melontarkan prediksi yang berani: China mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 hingga 6 persen per tahun hingga 2035.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika kosong untuk menenangkan pasar, melainkan sebuah kalkulasi matematis yang berpijak pada satu variabel kunci yang sering luput dari pandangan Barat, yaitu ledakan kualitas modal manusia dalam Revolusi Industri Keempat.
Lin, dalam komentarnya yang dimuat Beijing Daily, menepis anggapan bahwa populasi yang menua akan meruntuhkan ekonomi China.
Ia justru menyoroti sebuah "parit pertahanan" ekonomi baru yang sedang dibangun Negeri Tirai Bambu itu. China tidak lagi bertumpu pada pabrik-pabrik padat karya yang memproduksi barang murah, melainkan telah beralih pada keunggulan teknologi yang digerakkan oleh talenta.
Data yang disodorkan Lin cukup membuat kita terhenyak: China kini menghasilkan lebih dari enam juta lulusan universitas di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) setiap tahunnya.
Jumlah ini melampaui gabungan lulusan STEM dari seluruh negara G7 —kelompok tujuh negara ekonomi maju dunia yang mencakup AS, Jepang, dan Jerman.
Fenomena ini menjadi relevan dan mendesak untuk dibedah dalam konteks Indonesia. Mengapa? Karena kita dan China sedang berlari menuju garis finis yang serupa. Jika China menargetkan "Peremajaan Nasional" pada 2049, Indonesia memiliki mimpi "Indonesia Emas 2045".
Kedua negara sama-sama ingin keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju di pertengahan abad ini.
Namun, membaca analisis Lin tentang bagaimana China memanfaatkan "keuntungan pendatang baru" dan sistem mobilisasi nasional untuk mendobrak blokade teknologi AS, timbul sebuah pertanyaan reflektif yang menggelitik: Apakah Indonesia sudah berlari di jalur yang benar, atau kita sekadar berjalan di tempat sambil terbuai narasi bonus demografi semu?
Modal Manusia
Poin krusial yang membedakan trajektori masa depan Indonesia dan China terletak pada bagaimana kedua negara mendefinisikan "kekayaan".
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia sangat agresif melakukan hilirisasi sumber daya alam, sebuah langkah yang patut diapresiasi.
Kita melarang ekspor bijih nikel mentah demi memaksa pembangunan smelter dan pabrik baterai di dalam negeri. Secara ekonomi makro, strategi ini berhasil mendongkrak nilai ekspor.
Namun, jika disandingkan dengan strategi "Sistem Seluruh Bangsa" (whole-nation system) yang dipaparkan Justin Lin, terlihat ada celah menganga dalam strategi kita.
China melakukan hilirisasi intelektual, sementara kita masih berkutat pada hilirisasi mineral. Lin mencontohkan kasus DeepSeek, sebuah startup kecerdasan buatan (AI) asal China.
Dengan modal yang relatif "sederhana" dan tim yang terdiri dari beberapa ratus orang jenius, mereka mampu mengguncang dominasi teknologi Barat dalam waktu singkat (3-4 tahun).
Hal ini membuktikan bahwa dalam era ekonomi digital, jumlah uang bukanlah segalanya; densitas talenta adalah rajanya.
China menyadari bahwa mereka akan segera kehilangan keunggulan tenaga kerja murah karena penuaan populasi, sehingga mereka berinvestasi gila-gilaan pada riset dan pengembangan (R&D). Merujuk data Bank Dunia, rasio belanja R&D China terhadap PDB sudah mendekati angka 3 persen.
Bandingkan dengan Indonesia. Kita sering membanggakan "Bonus Demografi" di mana jumlah penduduk usia produktif sedang mencapai puncaknya hingga tahun 2035 nanti.
Namun, bonus ini bisa berubah menjadi bencana demografi jika kualitas manusianya tidak relevan dengan kebutuhan zaman.
Data menunjukkan belanja R&D Indonesia masih berkisar di angka mikroskopis, 0,2 hingga 0,3 persen dari PDB. Jumlah lulusan STEM kita pun masih di kisaran ratusan ribu, jauh tertinggal dibandingkan China yang mencetak jutaan.
Akibatnya, dalam ekosistem industri teknologi tinggi, kita berisiko hanya menjadi pasar atau sekadar "tukang jahit" komponen canggih yang paten dan teknologinya tetap dipegang oleh asing.
Kita memiliki ototnya (sumber daya alam dan tenaga kerja), namun belum memiliki otaknya (penguasaan teknologi inti).
Arah Baru
Lantas, apa yang harus dilakukan? Kita tidak mungkin meniru sistem politik China, tetapi kita bisa mengadopsi semangat efisiensi dan fokus strategis mereka.
Kritik terhadap strategi pembangunan kita saat ini adalah terlalu beratnya fokus pada infrastruktur fisik —jalan tol, bandara, pelabuhan— tapi relatif sepi dalam pembangunan infrastruktur lunak, yaitu ekosistem inovasi.
Jalan tol memang memperlancar logistik, tetapi ia tidak menciptakan nilai tambah teknologi. Untuk mengejar pertumbuhan 5-7 persen seperti yang dicita-citakan Bappenas, Indonesia membutuhkan "Arah Baru" yang lebih radikal dalam kebijakan pendidikannya.
Pertama, pemerintah perlu merevisi definisi "Hilirisasi". Hilirisasi tidak boleh berhenti pada mengubah nikel menjadi baterai.
Hilirisasi sejati adalah ketika anak-anak muda Indonesia mampu merancang desain sel baterainya sendiri, menciptakan algoritma Battery Management System (BMS) sendiri, dan memegang hak kekayaan intelektual atas teknologi tersebut.
Untuk itu, diperlukan insentif fiskal yang masif bagi perusahaan swasta yang berani membuka pusat R&D di Indonesia, bukan hanya pabrik perakitan.
Belajar dari argumen Lin tentang China yang "memaksa" terobosan teknologi saat ditekan sanksi AS, Indonesia harus menciptakan kondisi yang "memaksa" terjadinya transfer teknologi secara riil, bukan sekadar di atas kertas kontrak investasi.
Kedua, reformasi pendidikan STEM harus menjadi prioritas darurat nasional. Kurikulum kita harus lebih adaptif terhadap coding, AI, dan bioteknologi sejak dini.
Jika China bisa memobilisasi sumber daya negara untuk mencetak 6 juta insinyur per tahun, Indonesia setidaknya harus menargetkan peningkatan drastis proporsi mahasiswa sains dan teknik.
Dana Abadi Pendidikan (LPDP) yang kita miliki harus lebih strategis diarahkan untuk mencetak doktor-doktor di bidang teknologi keras (hard tech) yang kemudian wajib pulang untuk membangun ekosistem riset nasional, atau bekerja sama dengan BUMN untuk memecahkan masalah teknis industri.
Optimisme Justin Lin tentang ekonomi China memberikan pelajaran berharga bagi kita: bahwa nasib sebuah bangsa di abad ke-21 tidak ditentukan oleh seberapa banyak nikel atau batubara yang dikandung bumi pertiwinya, melainkan oleh seberapa canggih isi kepala manusianya.
China percaya diri menantang hegemoni AS bukan karena mereka punya pabrik mainan, tapi karena mereka punya jutaan insinyur yang siap mendefinisikan ulang masa depan teknologi.
Waktu kita tidak banyak. Jendela bonus demografi Indonesia akan mulai menutup setelah 2035, saat populasi kita mulai menua seperti China hari ini.
Jika dalam 10 tahun ke depan kita gagal melakukan transformasi dari ekonomi berbasis komoditas ke ekonomi berbasis inovasi, impian Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong.
Kita harus berani bergeser, dari sekadar bangga menjadi "paru-paru dunia" atau "tambang dunia", menjadi "laboratorium dunia". Itu adalah satu-satunya jalan agar kita tidak sekadar menjadi penonton di panggung raksasa ekonomi dunia.
*) Pemerhati industri strategis
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY