LIFESTYLE

Tempe dan Identitas Bangsa: Warisan Budaya Hidup Indonesia Menuju UNESCO

Tempe adalah pangan yang dikonsumsi oleh mayoritas rakyat Indonesia. foto: Andrey
Tempe adalah pangan yang dikonsumsi oleh mayoritas rakyat Indonesia. foto: Andrey
apakabar.co.id, JAKARTA - Tempe bukan sekadar pangan berbahan kedelai. Ia adalah cermin sejarah panjang, pengetahuan lokal, dan praktik budaya masyarakat Indonesia yang diwariskan lintas generasi. Dalam keseharian, tempe hadir sebagai lauk rakyat; namun dalam konteks budaya, ia merepresentasikan relasi manusia, alam, dan tradisi yang membentuk identitas bangsa.

Sejarawan kuliner William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Tempeh and Tempeh Products (1979) mencatat bahwa tempe merupakan produk fermentasi yang berkembang secara khas di Nusantara, terutama di Jawa. Tidak seperti produk kedelai lain yang berasal dari Tiongkok atau Jepang, tempe tumbuh dari pengalaman lokal masyarakat agraris Jawa yang memadukan kedelai, iklim tropis, dan mikroorganisme alami Rhizopus. Temuan ini menegaskan tempe sebagai hasil kreativitas budaya Indonesia, bukan sekadar adaptasi dari luar.

Dalam perspektif antropologi, Sidney Mintz dalam Sweetness and Power (1985) menekankan bahwa makanan tidak pernah netral; ia selalu sarat makna sosial. Tempe, sebagai makanan yang dekat dengan rakyat kecil, merefleksikan nilai egalitarian dan kebersahajaan. Di banyak wilayah Jawa, tempe bukan hanya konsumsi harian, tetapi juga bagian dari tradisi selamatan, kenduri, dan ritual desa. Kehadirannya menandai kebersamaan dan solidaritas sosial.

Sosiolog Indonesia Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984) menyebutkan bahwa pola makan masyarakat Jawa sangat terkait dengan sistem nilai dan struktur sosial. Tempe, yang mudah diproduksi dan terjangkau, menjadi simbol kemandirian pangan rumah tangga. Proses pembuatannya—dari perendaman, perebusan, hingga fermentasi—merupakan pengetahuan turun-temurun yang diwariskan secara lisan dan praktik langsung, mencerminkan apa yang disebut Koentjaraningrat sebagai kebudayaan nonmaterial.

Lebih jauh, dalam Food Culture in Southeast Asia karya Penny Van Esterik (2008), tempe diposisikan sebagai bagian dari identitas kuliner Asia Tenggara yang unik karena menggabungkan teknik fermentasi dengan pola konsumsi nabati. Tempe tidak hanya mengisi kebutuhan gizi, tetapi juga membentuk selera dan ingatan kolektif. Bagi banyak orang Indonesia, aroma tempe goreng atau bacem bukan sekadar bau makanan, melainkan pemanggil nostalgia rumah dan kampung halaman.

Tempe juga mencerminkan etika ekologis masyarakat Indonesia. Proses produksinya relatif rendah limbah dan berbasis sumber daya lokal. Clifford Geertz dalam Agricultural Involution (1963) menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa mengembangkan sistem produksi yang intensif namun berkelanjutan. Tempe lahir dari logika yang sama: memaksimalkan hasil dari sumber terbatas melalui pengetahuan lokal.

Tempe Melangkah ke UNESCO

Pemerintah Indonesia telah mendaftarkan tempe sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia UNESCO pada tahun ini. Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menyebut tempe bukan sekadar makanan, melainkan ekspresi budaya yang hidup dan terus dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi.

“Tempe adalah pangan yang dikonsumsi oleh mayoritas rakyat Indonesia. Di baliknya ada tradisi, pengetahuan fermentasi, dan praktik budaya yang melibatkan banyak komunitas,” ujar Fadli di Jakarta, Minggu (21/12).

Proses pembuatan tempe mencerminkan kecerdasan lokal. Dari pemilihan kedelai, perebusan, hingga fermentasi, semuanya mengandung pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan inilah yang menjadi salah satu dasar penting pengajuan tempe ke UNESCO, karena ia hidup, berkembang, dan terus dipraktikkan dalam keseharian masyarakat.

Tempe juga menjadi penanda kuat budaya kuliner Indonesia. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam mengolah dan menyajikannya, menyesuaikan dengan selera dan tradisi setempat. Keragaman olahan ini menunjukkan bahwa tempe bukan produk tunggal, melainkan ruang ekspresi budaya yang luas.

Menurut Fadli, pengakuan UNESCO diharapkan memperkuat pemahaman bahwa budaya kuliner adalah bagian dari kebudayaan nasional. Pangan lokal, termasuk tempe, tidak bisa dipisahkan dari ekspresi budaya dan identitas masyarakat.

“Budaya tempe adalah warisan hidup. Ia melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dan menjadi bagian dari identitas kita,” katanya.

Upaya mendaftarkan tempe ke UNESCO juga dimaknai sebagai langkah menjaga keberlanjutan pengetahuan di balik tempe—bukan hanya produknya, tetapi tradisi, komunitas, dan nilai-nilai yang menyertainya. 

"Tempe dipandang sebagai cerminan budaya konsumsi pangan berbasis protein yang telah lama mengakar di Indonesia," ujarnya.

Jika pengakuan itu terwujud, tempe akan tercatat bukan hanya sebagai kuliner, tetapi sebagai warisan budaya dunia yang lahir dari praktik hidup masyarakat Indonesia.