OPINI

Keppres Bencana Sumatera Sebagai Investasi Reputasi dalam IEU-CEPA

Foto udara alat berat membersihkan reruntuhan rumah, kayu, dan lumpur sisa bencana banjir bandang ke atas truk yang mengantre di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Foto: Antara
Foto udara alat berat membersihkan reruntuhan rumah, kayu, dan lumpur sisa bencana banjir bandang ke atas truk yang mengantre di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Foto: Antara
Oleh: Syafruddin Karimi*

Indonesia membutuhkan lompatan kebijakan yang menegaskan komitmen pada transparansi dan ketertelusuran yang menjadi ruh IEU-CEPA. Keppres status bencana nasional untuk Sumatera menawarkan lompatan itu. Keppres akan menyatukan komando, anggaran, dan standar pelaporan lintas instansi, sehingga data kejadian—kebakaran lahan gambut, banjir, longsor—terhubung dengan peta tutupan lahan, izin, konsesi, rantai pasok, hingga pelabuhan ekspor. Keputusan ini bukan respons adhoc, melainkan investasi reputasi yang mengunci kredibilitas Indonesia di mata otoritas dan pembeli Eropa.

IEU-CEPA membuka tarif preferensial, tetapi pasar Eropa menuntut bukti berbasis data. Regulasi deforestasi UE (EUDR) mensyaratkan uji tuntas geolokasi untuk komoditas berisiko hutan. Produk yang tidak dapat menunjukkan audit trail berisiko tertahan di perbatasan. Keppres memberi dasar hukum untuk membangun single source of truth geospasial: setiap titik api, luasan terdampak, dan perubahan penutupan lahan terhubung dengan entitas usaha dan arus barang. Begitu data ini tersedia dan dapat diaudit, eksportir dapat memanfaatkan preferensi IEU-CEPA tanpa tersandung due diligence (European Union, 2023; Gilbert, 2024).

Nilai tambah Keppres terletak pada kemampuannya menurunkan biaya informasi. Transparansi rantai pasok menjadi efektif saat pemerintah mengonsolidasikan data hulu-hilir, membuka mekanisme verifikasi multipihak, dan mendorong adopsi teknologi seperti geotagging, ledger berbasis blok, serta pelabelan partai panen agar data tepercaya melekat pada produk. 
Bukti akademik menunjukkan pendekatan ini memangkas friksi kepatuhan dan memperkuat kepercayaan pasar (Montecchi, Plangger, & Etter, 2021; Nath, Shumon, & Sarwar, 2024). Untuk UE, kejelasan data mempercepat clearance; untuk pelaku usaha, kepastian prosedur menaikkan utilisasi tarif preferensial.

Keppres juga melindungi pelaku kecil dari risiko eksklusi. Penelitian lintas negara produsen menyimpulkan EUDR berpotensi menekan kehilangan hutan bila negara produsen memperkuat kebijakan domestik, menghadirkan akuntabilitas data di tingkat tapak, dan membiayai transisi pelaku kecil. Tanpa dukungan, beban kepatuhan mudah mendorong leakage ke pasar yang tidak menuntut standar tinggi (Muradian et al., 2024). 

Melalui Keppres, pemerintah dapat menugaskan pendanaan untuk penandaan geolokasi kebun, pemetaan partisipatif, model koperasi sebagai agregator traceability, serta verifikasi independen sehingga biaya per unit menurun dan akses pasar tetap terbuka.

Dampak reputasional Keppres juga menjangkau kebijakan iklim-perdagangan. Kebakaran hutan dan lahan mendorong emisi; pelaporan yang presisi memudahkan sinkronisasi measurement-reporting-verification (MRV) dengan mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). 
Literatur hukum perdagangan menekankan bahwa penyesuaian karbon menuntut pelaporan yang kredibel agar sesuai dengan aturan internasional (Durel, 2024). Dengan MRV yang rapi, produk Indonesia masuk UE melalui jalur yang jelas, bukan sekadar mengandalkan argumen politis.

Kesiapan kelembagaan menjadi kunci. Kajian tata kelola risiko di Indonesia menunjukkan adanya jarak antara kompleksitas risiko bencana dan desain institusional saat ini—terutama pada interoperabilitas data dan konsistensi pelaporan. Keppres menjembatani jarak itu dengan mandat untuk repositori satu peta, protokol audit yang dapat diuji publik, dan pembaruan penilaian risiko secara berkala (Triyanti et al., 2023). 

Prinsip good regulatory practices yang semakin jamak di perjanjian dagang modern memberi kerangka operasi: transparansi proses, konsultasi publik, dan evaluasi berbasis bukti (Cantore, 2020). Menempatkan prinsip tersebut di jantung Keppres menjadikan kepatuhan bukan beban, melainkan proposisi nilai.
Agenda operasional perlu fokus pada empat pilar. Pertama, bangun repositori geospasial terpadu yang menautkan kejadian bencana, tutupan lahan, konsesi, dan rantai pasok komoditas prioritas IEU-CEPA. Kedua, jalankan verifikasi multipihak dengan inspeksi acak, peer review akademik, dan open data. 

Ketiga, sediakan pembiayaan transisi kepatuhan untuk UMKM dan koperasi agar sertifikasi, pengujian, dan pelacakan tidak meminggirkan pelaku kecil. Keempat, bentuk joint implementation check-ins dengan Uni Eropa untuk memantau pemanfaatan Rules of Origin, progres EUDR/CBAM, dan kinerja logistik.

Intinya, Keppres Bencana Sumatra bukan sekadar instrumen darurat; Keppres adalah sinyal integritas yang memperkuat reputasi, mempercepat pemanfaatan IEU-CEPA, dan menarik investasi berkualitas. Transparansi yang terukur hari ini akan menghemat biaya sengketa esok hari dan menempatkan Indonesia pada kelas pasar yang menghargai data, kepastian, dan tanggung jawab.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Andalas