OPINI
Perpol Polisi Masuk 17 Kementerian, Antara Problem Konstitusi dan Kelembagaan
Meskipun Polri merupakan bagian dari masyarakat sipil dan tunduk pada peradilan umum, patut diingat kepolisian memiliki kewenangan koersif dalam penegakan hukum yang tidak dimiliki ASN atau warga sipil lainnya.
Oleh Bambang Rukminto
Terbitnya Perpol Nomor 10 Tahun 2025 secara eksplisit memang tidak bertentangan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menghapus frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebab, pada prinsipnya setiap penugasan personel memang harus didasarkan pada surat perintah.
Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan, “anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” Sementara dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan, “yang dimaksud jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak ada sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 pada dasarnya bukanlah norma baru, melainkan mengembalikan tafsir yang keliru akibat kerancuan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Hal ini penting ditegaskan karena penjelasan undang-undang bukanlah norma hukum.
Di sisi lain, frasa “jabatan yang tidak ada sangkut paut dengan kepolisian” yang kemudian dijadikan dasar terbitnya Perpol 10/2025, khususnya terkait penempatan personel di 17 kementerian dan lembaga, juga tidak tepat. Implementasinya menyentuh kementerian dan lembaga lain di luar struktur Polri yang seharusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
Dengan demikian, Perpol 10/2025 justru bertentangan dengan UU Polri yang menjadi dasar terbitnya peraturan tersebut, sekaligus bertentangan dengan UU ASN. Kapolri adalah pelaksana UU Nomor 2 Tahun 2002, bukan pembentuk undang-undang.
Sementara itu, Perpol memiliki batasan kewenangan yang hanya berlaku di lingkungan internal Polri dan tidak dapat memasuki ranah ASN yang telah diatur secara tegas oleh UU ASN. Dalam konteks ini, Pemerintah, khususnya Menteri Hukum, juga patut dikritik karena memasukkan Peraturan Kapolri yang bertentangan dengan undang-undang ke dalam Lembaran Negara.
Presiden seharusnya segera mengambil tindakan dengan menganulir Perpol tersebut, antara lain melalui penerbitan Peraturan Presiden yang mengatur pelaksanaan Pasal 28 ayat (3) UU Polri pasca Putusan MK. Terlebih lagi, Kapolri dan Menteri Hukum merupakan bagian dari Komisi Kepolisian Nasional dan tim percepatan reformasi Polri.
DPR juga perlu memanggil Kapolri dan Menteri Hukum untuk meminta penjelasan terkait terbitnya Perpol tersebut. Jika tidak dilakukan, praktik ini berpotensi menjadi tindakan inkonstitusional yang membahayakan sendi-sendi negara karena adanya pembiaran terhadap pelanggaran undang-undang oleh institusi negara.
Ini bukan semata pelanggaran dalam sistem pemerintahan, tetapi juga menyentuh sistem bernegara. Meskipun Polri merupakan bagian dari masyarakat sipil dan tunduk pada peradilan umum, kepolisian memiliki kewenangan koersif dalam penegakan hukum yang tidak dimiliki ASN atau warga sipil lainnya.
Karena itu, diperlukan pembatasan yang ketat melalui undang-undang guna mencegah dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan. Implikasi Perpol tersebut juga tidak sesederhana penugasan personel Polri ke 17 kementerian dan lembaga.
Ia berkaitan langsung dengan pelaksanaan undang-undang lain, seperti UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 19 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu dari unsur TNI dan Polri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU TNI dan UU Polri.
Jika Perpol ini dipaksakan, dampaknya bukan hanya melanggar UU Polri, tetapi juga UU ASN, serta menimbulkan persoalan serius terkait meritokrasi, konflik kepentingan, dan dualisme kepemimpinan bagi personel yang bersangkutan.
Saya dapat memahami kesulitan Kapolri pasca Putusan MK yang mewajibkan sekitar 4.351 personel Polri di luar struktur institusi untuk kembali ke Polri. Namun, solusi yang diambil tetap harus patuh pada konstitusi, undang-undang, dan putusan MK. Alternatif lain yang konstitusional adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebelum dilakukan revisi UU Nomor 2 Tahun 2002.
Perlu diingat, persoalan penempatan dan kembalinya personel Polri bukan semata masalah internal Polri. Pemerintah turut bertanggung jawab atas pembiaran praktik tersebut selama lebih dari satu dekade. Karena itu, apabila Kapolri tidak mampu menyelesaikan persoalan ini, Presiden harus turun tangan langsung untuk mengawal pelaksanaan UU Polri pasca Putusan MK. (*)
*Penulis adalah peneliti bidang Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS),
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR


