OPINI

Menciptakan ruang digital yang ramah untuk anak melalui PP Tunas

ILUSTRASI anak bermain gadget. Foto: Malang Hits
ILUSTRASI anak bermain gadget. Foto: Malang Hits
Memberikan perlindungan bagi anak dan remaja dalam mengakses ruang digital menjadi salah satu fokus utama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) di bawah kepemimpinan Menteri Meutya Hafid serta Wakil Menteri Nezar Patria dan Angga Raka Prabowo. 

Oleh Farhan Arda Nugraha

FOKUS tersebut tidak terlepas dari meningkatnya aktivitas anak di ruang digital seiring pesatnya penetrasi internet dan penggunaan media sosial di Indonesia.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2025 telah mencapai 229.428.417 orang atau sekitar 80,66 persen dari total populasi yang berjumlah 284.438.900 jiwa.

Berdasarkan kelompok usia, generasi Z (12–27 tahun) dan generasi Alpha (di bawah 12 tahun) masuk dalam tiga besar pengguna internet terbanyak. Persentase pengguna internet dari kelompok gen Z tercatat sebesar 87,80 persen, sementara gen Alpha mencapai 79,73 persen.

Bagi anak, internet dan platform digital ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ruang digital dapat menunjang proses belajar dan mengembangkan kreativitas. Namun di sisi lain, terdapat berbagai risiko yang mengintai, mulai dari paparan konten negatif, perundungan siber, adiksi gawai, perjudian daring, hingga eksploitasi data pribadi anak.

Dari sudut pandang psikologi, paparan media sosial yang berlebihan juga berpotensi mempengaruhi perkembangan psikis anak dan remaja. Psikolog anak dan remaja lulusan Universitas Indonesia Vera Itabiliana menyebutkan bahwa dampak paling signifikan adalah pengaruh terhadap proses pembentukan identitas diri.

Pencarian jati diri secara alami membutuhkan waktu, eksplorasi, serta interaksi nyata. Proses tersebut menjadi lebih rumit ketika remaja terus-menerus terpapar standar sosial, tren, dan opini orang lain melalui media sosial.
Paparan semacam itu berpotensi membuat remaja mendefinisikan dirinya berdasarkan penilaian orang lain, bukan dari pengalaman personal.

Penggunaan media sosial juga dapat mempengaruhi kemampuan remaja dalam mengelola emosi. Mereka menjadi lebih mudah membandingkan diri dengan orang lain, lebih sensitif terhadap penilaian sosial, dan cenderung mencari validasi dari luar.

Remaja merupakan kelompok paling rentan terhadap dampak negatif media sosial karena belum sepenuhnya memiliki kontrol diri dan kemampuan menilai risiko. Kondisi tersebut mendorong perlunya pengaturan akses anak terhadap internet dan media sosial guna melindungi mereka dari dampak psikis maupun risiko kejahatan di ruang digital. 

Penundaan akses terhadap platform berisiko menjadi salah satu langkah yang dapat ditempuh. Berangkat dari kondisi tersebut, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP Tunas pada 28 Maret.

Menkomdigi Meutya Hafid menyatakan PP Tunas merupakan wujud kehadiran negara dalam memprioritaskan perlindungan anak dari dampak negatif ruang digital. Komitmen itu juga tercermin dalam arah pembangunan digital Indonesia yang baru-baru ini diumumkan Kemkomdigi, salah satunya melalui upaya menjaga ruang digital yang aman dari berbagai kejahatan siber, termasuk yang menyasar anak-anak.

“Platform digital harus menyediakan filter konten, verifikasi usia, dan kontrol orang tua. Anak-anak berhak tumbuh aman, sehat, dan terlindungi,” kata Meutya.

Indonesia menjadi negara kedua di dunia yang memiliki regulasi khusus terkait pembatasan akses media sosial bagi anak setelah Australia, yang mengesahkan aturan serupa melalui amandemen Online Safety Act pada 29 November 2024.

Penegakan hukum

Peraturan Pemerintah (PP) Tunas menitikberatkan tanggung jawab platform digital untuk memenuhi kewajiban menyediakan pengamanan bagi pengguna anak, termasuk melalui sistem penyaringan terhadap konten berbahaya. Kebijakan ini dirancang untuk memastikan anak-anak dapat mengakses ruang digital secara lebih aman dan sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya.

Sejumlah ketentuan penting diatur dalam PP Tunas, salah satunya adalah klasifikasi tingkat risiko platform digital berdasarkan tujuh aspek penilaian. Aspek tersebut mencakup potensi paparan konten tidak layak, risiko terhadap keamanan data pribadi anak, risiko adiksi, hingga potensi dampak negatif terhadap kesehatan mental dan fisik anak.

PP Tunas juga mengatur secara rinci pembuatan akun anak di platform digital dengan pembagian kelompok usia, yakni di bawah 13 tahun, usia 13 tahun hingga sebelum 16 tahun, serta usia 16 tahun hingga sebelum 18 tahun. Pengaturan tersebut disertai dengan persyaratan persetujuan dan pengawasan orang tua yang disesuaikan dengan tingkat risiko platform yang diakses.

Anak berusia di bawah 13 tahun hanya diperbolehkan mengakses platform yang sepenuhnya aman, seperti situs edukasi atau platform yang secara khusus dirancang untuk anak. Sementara itu, anak berusia 13–15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan tingkat risiko rendah hingga sedang.

Untuk anak usia 16–17 tahun, akses terhadap platform dengan risiko tinggi dimungkinkan, namun harus disertai dengan pendampingan orang tua. Adapun pengguna berusia 18 tahun ke atas diperbolehkan mengakses secara independen seluruh kategori platform digital.

Selain pengaturan akses, PP Tunas juga mewajibkan platform digital memberikan edukasi kepada anak dan orang tua terkait penggunaan internet yang bijak dan aman. Edukasi ini dipandang penting untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan keluarga dalam menghadapi berbagai risiko di ruang digital.

Aturan ini juga memuat larangan bagi platform untuk melakukan profiling terhadap anak untuk tujuan komersial, kecuali apabila dilakukan demi kepentingan terbaik anak. Bagi platform yang melanggar ketentuan tersebut, PP Tunas mengatur sanksi administratif yang berjenjang, mulai dari teguran, denda, penghentian layanan, hingga pemutusan akses.

Terkait pengaturan industri gim yang aman bagi anak, Kemkomdigi meluncurkan sistem klasifikasi gim berdasarkan kelompok usia yang diberi nama Indonesia Game Rating System (IGRS) pada 11 Oktober 2025. IGRS merupakan sistem klasifikasi gim nasional milik Indonesia dan menjadi yang pertama di Asia Tenggara.

Aturan tersebut mulai berlaku efektif pada 2026 dan wajib diterapkan pada seluruh gim yang diterbitkan di Indonesia. Dalam sistem ini, gim diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia pemain, seperti 3+, 7+, 13+, 15+, dan 18+, dengan kewajiban bagi pengembang untuk mencantumkan label usia sesuai muatan konten gim yang ditampilkan.

Untuk memastikan pelaksanaan PP Tunas berjalan optimal, Kemkomdigi menerapkan sejumlah strategi penegakan guna memastikan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) patuh dalam mengendalikan konten negatif di ruang digital.

Dalam implementasinya, PP Tunas mengatur sanksi administratif bagi PSE yang melanggar ketentuan, termasuk opsi pemutusan akses terhadap platform yang tidak patuh. Melalui aturan ini, kementerian dapat menerbitkan Surat Perintah Takedown terhadap konten bermasalah, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan Surat Teguran hingga pemutusan akses apabila perintah tidak dijalankan dalam batas waktu yang ditentukan.

Selain penegakan regulasi, Kemkomdigi juga memperkuat pengawasan melalui patroli siber secara berkala untuk memantau peredaran konten negatif agar dapat segera ditangani sebelum menyebar lebih luas. Upaya tersebut diperkuat dengan integrasi sistem pelaporan aduan lintas kementerian dan aparat penegak hukum melalui sistem Aduan Instansi dan Aduan Polri.

Hasilnya, Kemkomdigi telah melakukan penindakan terhadap lebih dari 3.381.000 konten negatif di ranah digital dalam kurun waktu 20 Oktober 2024 hingga 6 Desember 2025 yang diidentifikasi dan ditangani berkat patroli siber dan kanal aduan masyarakat.

Upaya bersama

Kemkomdigi terus memperkuat sosialisasi dan implementasi PP Tunas melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menilai penerapan PP Tunas bukan perkara mudah karena pemerintah harus menghadapi tingkat adiksi anak terhadap platform digital yang relatif tinggi.

Selain itu, pemerintah juga berhadapan dengan platform-platform besar yang selama ini menjadikan segmen remaja sebagai pangsa pasar utama. Oleh karena itu, Kemkomdigi terus mengingatkan platform media sosial untuk menyiapkan teknologi maupun fitur yang lebih ramah anak di dalam aplikasinya.

Dengan hadirnya berbagai fitur perlindungan anak yang telah diluncurkan oleh sejumlah aplikasi seperti Google, Meta, hingga Roblox dalam beberapa waktu terakhir, Kemkomdigi optimistis pengelola platform akan mematuhi aturan yang berlaku di Indonesia.

Di samping itu, Kemkomdigi juga memperkuat kolaborasi dengan asosiasi dan pelaku industri gim dalam rangka meningkatkan perlindungan anak. Komitmen tersebut diwujudkan melalui kolaborasi yang melibatkan lebih dari 20 penerbit gim global dan nasional, antara lain AGI, Tencent, Garena, Agate, Megaxus, Nintendo, dan PlayStation.

Kemkomdigi turut menjalin kerja sama lintas kementerian dalam implementasi PP Tunas yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman rencana aksi bersama. Kolaborasi ini melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Dalam pelaksanaannya, masing-masing kementerian didorong untuk mengambil peran sesuai kewenangannya, mulai dari penyediaan kegiatan alternatif bagi anak, penguatan edukasi di lingkungan pendidikan, hingga dukungan kebijakan daerah yang ramah anak.

Namun demikian, perlindungan anak di ruang digital pada akhirnya dimulai dari rumah melalui bimbingan dan pengawasan orang tua. Sebagai pihak yang paling dekat dan menghabiskan banyak waktu bersama anak, peran orang tua sangat penting dalam memastikan anak mengakses internet dan platform digital secara aman. (*)

Catatan redaksi: Isi tulisan tidak mewakili pandangan redaksi, dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.