NEWS
Polisi Masuk 17 Kementerian: Melawan MK, Sesuai Tugas, atau Ikut Jejak TNI?
Polemik Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 terus bergulir, di tengah putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan polisi aktif mundur jika menduduki jabatan sipil.
apakabar.co.id, JAKARTA - Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membuka ruang penugasan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga terus menuai perdebatan. Aturan ini terbit di tengah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan bahwa anggota Polri wajib mengundurkan diri atau pensiun jika menduduki jabatan di luar struktur kepolisian.
Menanggapi polemik tersebut, Pemerhati Kepolisian dan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) 2016-2024, Poengky Indharti, menjelaskan perbedaan tafsir antara Perpol dan putusan MK.
“Dari pemahaman saya, Perkap ini menegaskan tidak ada rangkap jabatan bagi anggota Polri, dan anggota Polri masih diperbolehkan menduduki jabatan di luar struktur Polri dengan syarat harus sesuai tupoksi Polri dan atas permintaan Pimpinan organisasi (K/L), baik di dalam dan luar negeri,” ujar Poengky kepada apakabar.co.id.
Ia menyebut putusan Mahkamah Konstitusi memang menegaskan kewajiban mengundurkan diri atau pensiun dini bagi anggota Polri yang menjalankan tugas di luar struktur Polri. “Sedangkan putusan MK menegaskan jika anggota Polri menjalankan tugas di luar struktur Polri, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau pensiun dini,” lanjutnya.
Menurut Poengky, perbedaan kunci terletak pada penafsiran “sesuai tupoksi”. “Nah, pemahaman saya tentang Perkap ini, fokusnya pada yang sesuai tupoksi, dan tidak menyinggung yang tidak sesuai tupoksi, sehingga Perkap menganggap karena sesuai tupoksi maka tidak perlu mengundurkan diri,” katanya.
Ia menjelaskan Perpol 10/2025 mencantumkan 17 kementerian dan lembaga yang dianggap masih berada dalam lingkup tugas kepolisian. Daftar tersebut meliputi Kemenko Polhukam, Kementerian ESDM, Kemenkum, Kemen Imipas, Kemenhut, KKP, Kemenhub, Kemen Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Kemen ATR/BPN, Lemhannas, OJK, PPATK, BNN, BNPT, BIN, BSSN, dan KPK.
“Jabatan yang diperbolehkan adalah jabatan manajerial dan non-manajerial,” ujarnya. Poengky juga menilai pendekatan dikotomi sipil-militer tidak tepat diterapkan pada Polri. “Kalau saya melihat, Polri setelah Reformasi 1998 menjadi institusi sipil dan seluruh anggota Polri tunduk pada Peradilan Umum, sehingga sipilnya jelas terlihat dan membedakannya dengan militer. Dikotomi sipil-militer tidak bisa diterapkan pada anggota Polri,” kata Poengky.
Ia menekankan bahwa pengaman utama tetap berada pada kesesuaian tugas. “Pengamannya sebetulnya terletak pada sesuai tupoksinya. Sehingga jika tidak sesuai tupoksi maka harus mengundurkan diri dari Polri atau pensiun dini,” ujarnya.
Selain itu, Poengky menyebut kebutuhan dari kementerian dan lembaga menjadi faktor pembatas lain. “Selanjutnya pengaman lainnya adalah berdasarkan kebutuhan 17 Kementerian. Jika tidak ada permintaan, tentu saja tidak ada peluang untuk masuk ke 17 Kementerian,” katanya.
Ia mencontohkan penugasan penyidik di sejumlah lembaga. “Misalnya penyidik KPK, BNN, dan BNPT tentu saja membutuhkan penyidik Polri dan hal tersebut sesuai tupoksi. Jika K/L sudah memiliki sendiri para penyidiknya misalnya KPK punya penyidik internal dari KPK sendiri, tentu tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan penyidik Polri,” lanjut Poengky.
Poengky juga menekankan pentingnya pengawasan berlapis. “Pengawasan dari Kementerian yang bersangkutan sangat penting untuk memastikan penugasan dilaksanakan secara profesional,” ujarnya.
“Demikian pula pengawasan Internal Polri perlu bersinergi dengan pengawasan Kementerian untuk memastikan profesionalitas dan akuntabilitas anggota Polri yang melaksanakan penugasan,” tambahnya.
Perbedaan tafsir antara Perpol 10/2025 dan Putusan MK inilah yang terus memicu perdebatan publik. Isu ini kembali membuka diskursus tentang batas penugasan aparat kepolisian dalam sistem ketatanegaraan serta risiko pelebaran peran Polri di ranah sipil.
Terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 lahir dalam situasi nasional yang serba tidak pasti. Ia menyebut kondisi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia tengah memasuki fase VUCA. Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.
Dalam konteks tersebut, Sugeng melihat Perpol 10/2025 sebagai langkah berani pimpinan Polri untuk menjaga keberlangsungan organisasi dan melindungi anggotanya di tengah ketidakpastian arah kebijakan negara.
Menurut Sugeng, persoalan utama pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 bukan semata soal patuh atau tidak patuh terhadap hukum, melainkan benturan antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Ia menilai jika Polri sepenuhnya mengambil jalur kepastian hukum versi MK, justru berpotensi melahirkan ketidakadilan karena lembaga negara lain berada dalam rezim aturan yang berbeda.
“Mengikuti kepastian hukum maka tidak adil buat Polri, situasi ambiguitas. Pimpinan negara saja ambigu dan menjauhi kepastian dan taat hukum. Semua lembaga sedang mencari jalan selamatnya sendiri,” ujar Sugeng dihubungi terpisah oleh media ini.
Ia menyinggung Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025, khususnya Pasal 47 ayat (1), yang secara tegas masih memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan di sejumlah kementerian dan lembaga sipil tanpa harus pensiun.
Kondisi tersebut, menurut Sugeng, menciptakan antinomi hukum. Dua norma tampak saling bertentangan, tetapi tidak saling meniadakan. Dalam situasi itulah, ia menilai Perpol 10/2025 merupakan respons institusional Polri untuk bertahan di tengah ambiguitas kebijakan negara, ketika masing-masing lembaga sedang mencari jalan aman versinya sendiri.
Latar Polemik
Perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 muncul karena kebijakan ini terbit di tengah putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar kepolisian tanpa mengundurkan diri atau pensiun. Dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025,
MK menyatakan frasa penugasan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri inkonstitusional karena membuka celah rangkap peran dan mengancam prinsip netralitas serta sistem komando tunggal Polri.
Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD menilai Perpol 10/2025 bertentangan langsung dengan putusan tersebut karena tetap membuka ruang penugasan polisi aktif ke jabatan sipil atas dasar penugasan, tanpa keharusan alih status. Menurut Mahfud, setelah putusan MK, tidak ada lagi mekanisme penugasan dari Kapolri untuk jabatan di luar struktur Polri.
Mahkamah Konstitusi juga mencatat praktik penempatan polisi aktif di luar institusi berlangsung masif. Data pemerintah di persidangan menunjukkan sepanjang 2023 hingga 2025, jumlah anggota Polri yang bertugas di luar struktur kepolisian meningkat dari 3.424 personel pada 2023 menjadi 4.351 personel pada 2025. MK menilai kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum, potensi konflik kepentingan, serta melemahkan profesionalisme kepolisian.
Di tengah kritik tersebut, Perpol 10/2025 justru merinci 17 kementerian dan lembaga yang dinilai sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Polri, sehingga memunculkan perbedaan tafsir, apakah kesesuaian tupoksi cukup untuk meniadakan kewajiban pensiun, atau justru bertentangan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR



