Temuan Depati Project, Negara Legitimasi Deforestasi di Kalimantan Barat

Jutaan hektar hutan alam di Kalimantan Barat musnah dijagal atas nama investasi. Hutan dengan keanekaragaman hayati, berganti tanaman monokultur (sejenis) yakni sawit dan akasia. Kerusakan ini memicu berbagai persoalan yang tak akan pernah sebanding dengan nilai inverstasi kaum pebisnis yang difasilitasi negara itu. Foto: Depati Project

apakabar.co.id, JAKARTA – Liputan kolaborasi Depati Project yang melibatkan sejumlah jurnalis dari beberapa media massa berhasil mengungkap fakta tentang musnahnya jutaan hektar hutan alam di Kalimantan Barat atas nama investasi.

Temuan tim liputan menunjukkan hutan dengan keanekaragaman hayati telah berganti rupa menjadi tanaman monokultur (sejenis) yakni sawit dan akasia. Perubahan bentang alam itu memicu berbagai persoalan yang tak akan pernah sebanding dengan nilai investasi kaum pebisnis yang difasilitasi negara itu.

Orang utan, satwa endemik dan satwa liar lainnya kini terancam. Mereka kehilangan ekosistem dan mempercepat tingkat kepunahannya. Deforestasi telah menyebabkan konflik dengan kelompok masyarakat adat yang selama ini hidup bergantung dari hutan, baik secara ekonomi maupun secara budaya.

Jurnalis Pontianak Post Arif Nugroho yang terlibat dalam kolaborasi Depati menyebutkan, negara telah melegitimasi deforestasi termasuk di areal gambut dalam yang seharusnya dilindungi atas dalih investasi.

Nyawa manusia juga dipertaruhkan. Luas hutan yang telah ditebang oleh perusahaan ternyata jauh melampaui batas yang diizinkan sehingga menyebabkan kerusakan ekologis yang parah.

“Ada Perusahaan-perusahaan besar ada di balik deforestasi ini,” ujar Arif, Selasa (21/5)

Perusahaan itu bernama PT Mayawana Persada. Salah satu perusahaan pemegang konsesi HTI yang paling massif menggerus hutan di Bumi Kalimantan Barat.

“Jujur kami sedih melihat praktik pembukaan hutan yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Mayawana Persada. Praktik kotor itu tidak hanya mengubah bentang alam hutan menjadi tanaman monokultur, tapi juga mengakibatkan hilangnya ruang hidup dan tanah ulayat adat,” papar Arif.

Hal serupa dikeluhkan Themmy Doaly, jurnalis Ekuatorial.com. Menurutnya, masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut menjadi korban langsung akibat deforestasi. Mereka kehilangan tempat tinggal, sumber daya alam, dan juga identitas budaya yang selama ini terikat erat dengan hutan.

“Aktivitas deforestasi PT Mayawana Persada telah mengancam kelangsungan hidup mereka dan memicu konflik sosial yang serius,” ujarnya.

Aktivitas PT Mayawana Persada di Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, kata Themmy, telah menggusur wilayah kelola para petani. Sejak tahun 2021, warga dusun memperkirakan tanah mereka telah digusur sejauh 3000-4000 hektare.

“Praktik ini memiliki dampak lanjutan seperti alih profesi, pemiskinan, hingga trauma para korban. Padahal, sebagai bagian dari komunitas adat Dayak Kualan, warga di sana sangat menggantungkan hidup dengan sumber daya alam di sekitarnya,” jelasnya.

Tidak hanya itu, kawasan lindung gambut di Kalimantan Barat juga terancam oleh praktik deforestasi ini. Gambut sebagai ekosistem penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan mengurangi emisi gas rumah kaca, kini terancam rusak akibat dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Koresponden CNN Indonesia TV Miftah Faridl yang terlibat di Depati Project mengungkapkan,  “Ini sama sekali di luar bayangan saya sebagai jurnalis.”

Negara dalam hal ini pemerintah, kata Faridl, telah memfasilitasi sebuah entitas bisnis untuk menjagal hutan alam yang merupakan habitat orangutan sekaligus ruang hidup masyarakat.

“Berapapun nilai investasi itu, tidak akan sebanding dengan hancurnya ekosistem ini, apalagi membunuh kebudayaan masyarakat adat Dayak. Belum lagi ancaman bencana ekologi akibat praktik rakus dengan membabat hutan,” jelasnya.

Untuk itu, Faridl mengharapkan, pemerintah setempat dan lembaga terkait harus bertindak menangani persoalan ini. Langkah-langkah penegakan hukum yang tegas dan efektif perlu diterapkan terhadap PT Mayawana Persada untuk menghentikan deforestasi ilegal yang mereka lakukan.

Organisasi non-pemerintah dan aktivis lingkungan juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, melindungi kawasan lindung gambut, dan menyelamatkan spesies yang terancam punah.

“Mereka harus terus mendesak pemerintah dan perusahaan untuk bertanggung jawab atas praktik-praktik yang merugikan lingkungan dan masyarakat,” tandasnya.

100 kali dilihat, 2 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *