Mahasiswa Jadi Korban Eksploitasi Magang di Jerman, Indra: Bukti Neoliberalisme Pendidikan

“Sepertinya impian kita untuk mendapatkan bonus demografi akan tergantikan dengan bencana demografi."

Ribuan mahasiswa Indonesia menjadi korban magang palsu di Jerman. Pengalaman Nita saat magang di Eropa tidak seindah yang dijanjikan. Foto via BBC

apakabar.com, JAKARTA – Ribuan mahasiswa di Jerman jadi korban perdagangan manusia atau human trafickking. Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji melihatnya sebagai dampak dari Neoliberalisme Pendidikan Indonesia.

Kasus-kasus semacam ini, menurutnya, akan bermunculan saat pendidikan dikelola dengan mekanisme pasar. “Karena pemerintah sekadar membuat kebijakan. Stakeholders pendidikan disuruh cari jalan sendiri mulai dari anggarannya sampai implementasinya,” jelas Indra kepada apakabar.co.id, Senin (25/3).

Amerika yang negara liberal saja, kata dia, pendidikannya tidak dikelola dengan cara seperti ini. “Kondisi ini sangat memprihatinkan.”

Semuanya kecarumarutan ini, menurut Indra, berawal dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Yang tidak dibuat berdasarkan kajian akademis. Terbukti, sampai hari ini tidak ada naskah akademik dari program tersebut.

Konversi 20 SKS dalam MBKM melalui program magang mahasiswa sepertinya menjadi pemicu baik bagi kampus maupun mahasiswa untuk mengikuti program magang di Jerman ini.

“Sepertinya impian kita untuk mendapatkan bonus demografi akan tergantikan dengan bencana demografi,” jelasnya.

Indra heran mengapa kelompok terpelajar justru bisa dijual dengan mudahnya. Seperti halnya budak. Mirisnya lagi, dan yang diduga menjual mereka adalah institusi pendidikan yang harusnya memberikan bimbingan dan pendidikan bagi mahasiswanya.

“Menjadi ironis taktala lembaga pendidikan justru menjerumuskan anak didiknya,” ujar Indra prihatin.

Berkaca dari pengalaman, Indra menyampaikan bahwa ada dua jenis tenaga kerja yang dicari di luar negeri. Yang pertama adalah tenaga-tenaga ahli yang sangat spesifik di mana orang lokal tidak mampu memenuhi kuota kebutuhan tenaga kerja bidang tersebut.

Yang kedua adalah tenaga kerja kasar. Tenaga kerja kasar ini biasanya diisi oleh warga negara asing. Banyak yang ilegal karena izin kerjanya sulit didapat. Apalagi untuk pekerjaan yang memang tidak membutuhkan keterampilan khusus.

Dibanding penghasilan dengan bekerja di Indonesia memang terlihat jauh sekali perbedaannya.

“Dan hanya di Indonesia, orang mau bekerja harus membayar dulu termasuk untuk urusan magang ini,” jelasnya.

Di negara lain orang bekerja untuk dibayar. Di Indonesia, kata Indra, orang terbiasa membayar pada pihak-pihak tertentu untuk diterima kerja.

Wakil Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia bidang Pendidikan, Indra Charismiadji. Foto: Dok.pribadi

Sebagai contoh. Seorang pengantar pizza di Amerika Serikat bisa mendapatkan penghasilan US $5,000 per bulan atau sekitar Rp 75 juta.

“Ini pengalaman saya waktu tinggal di sana. Tapi tidak ada manfaatnya bagi mahasiswa untuk magang sebagai pengantar pizza,” jelasnya.

Sepertinya, sambung Indra, agensi yang diduga melakukan TPPO ini mencari model-model kerja kasar atau unskilled workers. “Di sana memang sangat dibutuhkan,” imbuh pria berkaca mata ini.

Seyogyanya, pihak kampus paham situasi dan kondisi ini. Jika kampus benar terlibat, secara fundamental memang ada yang keliru dalam tata kelola pendidikan saat ini.

Pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 akan menempatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa, akan mencerdaskan, mewujudkan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pemerintah harus turut bertanggung jawaab dalam kasus ini.

“Saya rasa kita harus duduk bersama dan menata ulang sistem pendidikan Indonesia yang sesuai dengan dasar negara dan konstitusi. Kita butuh cetak biru pendidikan Indonesia yang benar-benar mencerdaskan bangsa. Semoga dengan kasus ini, fenomena ordal (orang dalam) bisa terhapuskan. Sistem pendidikan Indonesia tidak bisa dikelola dengan mekanisme pasar,’ pungkas Indra.

30 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *