apakabar.co.id, JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta pemerintah tidak gegabah dalam menerapkan implementasi dari program makan siang gratis yang digagas oleh pasangan Prabowo-Gibran.
Kornas JPPI Ubaid Matraji mendorong pemerintah agar berpikir ulang tentang apakah program tersebut harus dilaksanakan secepat itu.
Pemerintah, kata Ubaid, jangan hanya mengejar populisme, karena terikat dengan janji-janji kampanye, tetapi harus memikirkan dampaknya secara luas.
“Juga mana yang seharusnya menjadi skala perioritas yang mendesak harus diatasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan kita,” ujar Ubaid di Jakarta, Senin (4/3).
Menurut JPPI, tujuan dari program makan siang gratis masih belum jelas. “Ini program sebenarnya tujuannya apa? Beragam kabar yang masih simpang-siur yang diterima masyarakat. Ada yang bilang untuk pencegahan stunting, pemenuhan gizi, tambahan makan siang, dan lain sebagainya,” kata Ubaid.
Jika untuk pencegahan stunting, menurut Ubaid, program ini tidak ada manfaatnya. Jika untuk program pencegahan stunting, maka peruntukannya adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun.
Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak.
“Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya,” paparnya
JPPI juga mengeluhkan soal biaya pendidikan yang semakin mahal. “Jika dipaksa untuk diimplementasikan, jelas akan jadi beban anggaran dan menambah utang negara,” katanya.
Akibatnya, tarif biaya pendidikan tetap mahal dan kian tak terjangkau. Banyak Masyarakat, ujar Ubaid, menjerit soal biaya pendidikan dan belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun secara bebas biaya.
“Di sekolah negari saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau,” jelasnya.
Biaya makan siang gratis, menurut JPPI, rawan bocor yang mengakibatkan banyak Kepsek dan guru potensial masuk penjara. Masyarakat harus sadar bahwa sektor pendidikan termasuk ke dalam kategori 5 sektor terkorup di Indonesia.
“Maka, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksinya,” ungkap Ubaid.
Ubaid menambahkan, “Apalagi tidak jelas punya, siapa yang mengelola, siapa saja yang terlibat, bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.”
Dana BOS yang ada saat ini juga masih bermasalah. Hal itu akan menambah daftar masalah, ketika program makan siang gratis dibiayai dari dana BOS.
“Jika terlalu gegabah hanya karena pencitraan, maka akan banyak kepala sekolah dan guru yang masuk penjara,” ujarnya.
Jika ingin memaksakan harus ada makan siang, JPPI berharap,
dananya harus di luar anggaran pendidikan. Saat ini anggaran pendidikan, yang jumlahnya 20 persen dari APBN, sudah sangat terbebani dengan gaji guru dan belanja operasional pegawai.
“Akibatnya, tidak dapat banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan akses dan juga mendorong kualitas pendidikan lebih baik,” katanya.
Selanjutnya JPPI mengingatkan pemerintah untuk mendahulukan problem perioritas ketimbang pelunasan janji kampanye demi populisme.
Saat ini, kata Ubaid, merujuk data BPS 2023, rata-rata lama sekolah nasional masih 8,7 tahun yang berarti SMP saja tidak lulus.
Sementara dari segi kualitas, berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia.
“Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan tertinggal jauh dari negara-negara tetangga,” terangnya.
Ubaid menanyakan, “Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak.”