NEWS
Rekam Jejak Kelam Kajari HSU Albertinus Napitupulu: Dari Diusir Warga hingga OTT KPK
apakabar.co.id, JAKARTA - Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (Kajari HSU), Albertinus Parlinggoman Napitupulu, pada 18 Desember 2025 bukan sekadar perkara pemerasan biasa.
Penangkapan ini membuka kembali rekam jejak panjang kontroversi sang jaksa, yang sebelumnya sempat berulang kali terseret persoalan etik dan dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Nama Albertinus sejatinya telah lama menjadi sorotan. Pada Maret 2025, saat menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Tolitoli, Sulawesi Tengah, ia diusir puluhan warga Desa Pagaitan, Kecamatan Ogodeide, dari lokasi pembangunan vila miliknya.
Warga meluapkan kemarahan setelah Kejari Tolitoli menetapkan Kepala Desa Pagaitan, Damianus Mikasa, sebagai tersangka kasus korupsi dana desa.
Gerakan Nasional Anti Korupsi (Granat) Tolitoli menuding konflik bermula dari kekecewaan Albertinus karena permintaan akses jalan menuju vila dan lahan pribadi sekitar 4 hektare tidak dipenuhi. Ia dilaporkan ke Komisi Kejaksaan RI atas dugaan pemerasan dan gratifikasi terhadap kepala desa.
Dugaan serupa juga muncul dari kalangan lain. LBH Sulawesi Tengah melaporkan Albertinus ke Jaksa Agung Muda Pengawasan pada 1 Juli 2025.
Laporan itu menyebut dugaan kriminalisasi dan permintaan uang Rp 1 miliar serta sejumlah sertifikat tanah kepada Direktur PT Megah Mandiri Makmur, Benny Chandra, agar perkara dugaan korupsi proyek pasar rakyat senilai Rp 5,6 miliar tidak dilanjutkan.
Rekam jejak Albertinus juga mencatat kasus lama. Pada 2013, saat bertugas di Kejaksaan Tinggi Jakarta sebagai Kasipenkum, namanya disebut dalam perkara suap penanganan pajak PT The Master Steel. Ia disebut menerima US$ 20 ribu dari PPNS pajak. Namun saat itu, Kejaksaan hanya menjatuhkan sanksi etik berupa pencopotan jabatan.
Data LHKPN KPK menunjukkan lonjakan signifikan harta kekayaan Albertinus. Pada 2019, hartanya tercatat Rp 255 juta. Saat menjabat Kajari Tolitoli sejak 2023, nilainya meningkat menjadi Rp 1,12 miliar.
Pada 18 Desember 2025 tadi, ia pun terjaring OTT KPK di Amuntai Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan. KPK membongkar dugaan pemerasan yang dilakukan Albertinus dan anak buahnya di Kajari HSU.
Modus lancung mereka adalah memakai laporan lembaga swadaya masyarakat sebagai alat ancaman terhadap pejabat daerah. Praktik ini terungkap setelah KPK membuntuti Albertinus dan anak buahnya serta memantau aliran uang sebelum melakukan OTT.
Dalam perkara ini, KPK menduga dua jaksa Kejari Hulu Sungai Utara menerima aliran uang dugaan korupsi hingga Rp1,133 miliar. Mereka adalah Kasi Intelijen Asis Budianto dan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara Tri Taruna Fariadi.
Uang itu diduga diterima baik sebagai perantara maupun di luar perantara dari Kepala Kejari Hulu Sungai Utara, Albertinus Parlinggoman Napitupulu.
“ASB yang merupakan perantara APN tersebut, dalam periode Februari-Desember 2025, diduga menerima aliran uang dari sejumlah pihak sebesar Rp63,2 juta,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.
Sementara Tri Taruna Fariadi diduga menerima uang hingga Rp1,07 miliar. “Rinciannya pada 2022 berasal dari mantan Kepala Dinas Pendidikan Hulu Sungai Utara senilai Rp930 juta, kemudian pada 2024 yang berasal dari rekanan sebesar Rp140 juta,” katanya.
Kasus ini mencuat setelah KPK melakukan OTT pada 18 Desember 2025. Sehari kemudian, KPK menangkap enam orang, termasuk Albertinus dan Asis.
Pada 20 Desember 2025, KPK menetapkan Albertinus, Asis, dan Tri Taruna sebagai tersangka pemerasan dalam proses penegakan hukum di Kejari Hulu Sungai Utara. Hingga kini, Tri Taruna masih buron setelah melawan saat OTT berlangsung.
KPK mengungkap, pemerasan dilakukan dengan ancaman proses hukum atas laporan LSM yang masuk ke Kejari Hulu Sungai Utara dan menyasar sejumlah SKPD.
“Permintaan disertai ancaman itu dengan modus agar laporan pengaduan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masuk ke Kejari Hulu Sungai Utara terkait dinas tersebut, kemudian tidak ditindaklanjuti proses hukumnya,” ujar Asep.
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR

