OPINI

KUR Bunga 6 Persen dan Masa Depan Pengusaha Muda Indonesia

Perajin membuat emping melinjo di rumah industri Emping Mulyati, Taktakan, Kota Serang, Banten, menjadi bagian UMKM yang menjadi sasaran penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Foto: Antara
Perajin membuat emping melinjo di rumah industri Emping Mulyati, Taktakan, Kota Serang, Banten, menjadi bagian UMKM yang menjadi sasaran penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Foto: Antara
Oleh: Anthony Leong*

Kebijakan pemerintah menetapkan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) flat enam persen dan menghapus batas pengambilan mulai tahun depan disambut sebagai kabar baik bagi jutaan pelaku UMKM.

Dalam situasi ekonomi yang masih bergejolak, banyak pengusaha kecil membutuhkan kepastian biaya modal agar bisa merencanakan langkah usaha dengan lebih tenang. Selama ini, bunga yang naik pada pinjaman berikutnya dan batasan jumlah pengambilan membuat pelaku usaha ragu memanfaatkan KUR sebagai modal ekspansi.

Dengan kebijakan baru ini, setidaknya hambatan itu berkurang. Mereka memiliki ruang untuk berpikir lebih jauh dari sekadar bertahan hidup dari hari ke hari.

Meski demikian, kebijakan yang tampak sederhana ini membawa konsekuensi yang tidak ringan. Modal murah memang memberi peluang, tetapi modal tidak pernah menjadi satu-satunya jawaban atas persoalan UMKM.

Banyak usaha mikro masih beroperasi dengan struktur yang rapuh. Pencatatan keuangan minim, strategi pemasaran terbatas, kemampuan digital tidak merata, dan kebergantungan pada pasar lokal masih sangat tinggi.
Pada titik ini, tambahan modal dapat mempercepat pertumbuhan, tetapi dapat pula memperbesar risiko jika tidak dikelola dengan benar. Kebijakan bunga rendah akan menjadi katalis pertumbuhan hanya jika diikuti peningkatan kapasitas dan perubahan pola usaha.

Risiko moral hazard juga perlu dicermati. Ketika batas pengambilan dihapus, pengusaha yang belum siap menghadapi siklus usaha bisa tergoda menjadikan KUR sebagai solusi jangka pendek untuk masalah jangka panjang.

Penggunaan dana KUR untuk tujuan konsumtif atau menutup utang lain bukan hal yang baru dalam praktik. Bank penyalur memang memiliki mekanisme seleksi, tetapi kualitas pertumbuhan UMKM tidak dapat hanya bertumpu pada kehati-hatian perbankan. Pendampingan usaha yang serius harus berjalan beriringan dengan pelonggaran akses pembiayaan.

Di tengah dinamika itu, peran organisasi seperti Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tidak bisa diabaikan. Selama beberapa tahun terakhir, HIPMI konsisten menyuarakan perlunya program pembiayaan yang lebih inklusif bagi pengusaha muda.

Organisasi ini melihat bahwa minat berwirausaha di kalangan muda meningkat, namun hambatan modal dan syarat perbankan sering membuat mereka ragu memulai langkah pertama. Dalam berbagai pertemuan dengan pemerintah, HIPMI mendorong agar KUR memiliki bunga yang tetap rendah dan tidak memberatkan pada pengambilan berikutnya. Kebijakan baru ini mencerminkan hasil dari dialog panjang yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas wirausaha muda.
Kebijakan KUR yang lebih ramah seharusnya menjadi momentum untuk melahirkan lebih banyak pengusaha muda Indonesia. Untuk mencapainya, kita memerlukan strategi yang lebih luas daripada sekadar memperbanyak penyaluran KUR.

Langkah pertama yang perlu diambil adalah menghubungkan kebijakan KUR dengan ekosistem pendidikan kewirausahaan. Jika sekolah menengah dan perguruan tinggi mulai menempatkan pembelajaran berbasis proyek, inkubasi usaha, dan praktik bisnis sebagai bagian kurikulum, maka lahirlah generasi muda yang tidak hanya memiliki ide, tetapi juga kapasitas untuk mengembangkan usaha mereka.

Pada fase berikutnya, KUR dapat menjadi modal awal yang digunakan secara lebih terarah karena didukung pembinaan yang sudah dimulai lebih dini.

Digitalisasi juga harus dipandang sebagai fondasi usaha masa kini, bukan hanya pelengkap. Pengusaha muda memiliki potensi besar di sektor ini karena mereka lebih cepat beradaptasi dengan platform daring, analitik data, dan pola konsumsi digital.

Tetapi tidak semua memiliki akses pada pelatihan yang relevan. Oleh karena itu, program pendampingan KUR perlu diarahkan pada peningkatan literasi digital, mulai dari penggunaan sistem kasir digital hingga strategi harga berbasis data. KUR akan memberikan dampak yang lebih besar apabila mendorong UMKM memasuki pasar digital secara strategis, bukan asal ikut arus.

Selain itu, insentif berbasis kinerja perlu dihadirkan untuk mendorong usaha yang lebih profesional. UMKM atau pengusaha muda yang mampu menunjukkan peningkatan omzet, disiplin pembukuan, atau kemampuan memenuhi standar rantai pasok seharusnya memiliki peluang untuk memperoleh plafon yang lebih tinggi atau persyaratan yang lebih ringan. Dengan cara ini, budaya pertanggungjawaban dan profesionalisme tumbuh bersamaan dengan akses modal yang lebih luas.
Konektivitas antara UMKM dan industri besar juga perlu diperkuat agar pengusaha muda memiliki pijakan yang lebih kokoh. Banyak anak muda yang mampu memproduksi barang atau jasa berkualitas, tetapi tidak memiliki jalur masuk ke rantai nilai industri. Jika pemerintah mampu memfasilitasi kemitraan antara UMKM dan perusahaan besar, KUR akan menjadi modal awal yang lebih produktif karena digunakan untuk memenuhi permintaan yang telah terhubung dengan pasar yang jelas.

Pada akhirnya, kebijakan bunga enam persen dan fleksibilitas pengambilan merupakan langkah maju. Namun keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan kita memanfaatkannya sebagai pintu masuk bagi transformasi usaha, bukan sekadar sebagai sumber pembiayaan murah.

KUR dapat menjadi fondasi bagi lahirnya lebih banyak pengusaha muda yang inovatif, mandiri, dan berdaya saing global, asalkan ditopang oleh ekosistem yang mendorong mereka berkembang.

KUR telah membuka jalan. Kini tantangannya adalah memastikan jalan itu membawa UMKM dan para pengusaha muda menuju lanskap ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan, dan mampu menjawab tantangan zaman.

*) Ketua BPP Bidang Sinergitas Danantara, BUMN, dan BUMD