OPINI

Perlindungan Perempuan: Investasi yang Mengubah Segalanya

Perajin membuat emping melinjo di rumah industri Emping Mulyati, Taktakan, Kota Serang, Banten, menjadi bagian UMKM yang menjadi sasaran penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Foto: Antara
Perajin membuat emping melinjo di rumah industri Emping Mulyati, Taktakan, Kota Serang, Banten, menjadi bagian UMKM yang menjadi sasaran penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Foto: Antara
Oleh: Abdul Wahib Situmorang*

Di berbagai sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, seperti sawit, garmen, kopi, dan teh, terdapat satu kenyataan yang terlalu lama dianggap sebagai “isu sosial”, padahal ia menentukan masa depan daya saing industri, yaitu soal keamanan dan martabat perempuan di tempat kerja.

Perempuan adalah tenaga utama di hampir seluruh rantai pasok labor-intensive. Perempuan pekerja di berbagai sektor tersebut memanen, menyortir, menjahit, mengolah, dan menjadi penggerak lini produksi.

Namun pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa perempuan sering bekerja sambil menahan rasa takut, baik terhadap pelecehan, intimidasi, maupun bias yang membuat suara mereka tidak dianggap. Ketakutan itu tidak terlihat di laporan produksi, tetapi terasa jelas di lantai kerja: performa turun, absensi memburuk, konflik meningkat, dan kualitas kerja tidak stabil.

Dari pendampingan CARE Indonesia bersama mitra di berbagai sektor, satu pelajaran besar muncul berulang kali, produk dan produktivitas tidak dapat tumbuh dalam lingkungan dan budaya yang membuat perempuan tidak aman. Ketika rasa aman dipulihkan, perubahan berlangsung cepat, lebih cepat dari pada banyak intervensi teknis atau investasi fisik.

Di sektor perkebunan, ketika kolaborasi dilakukan untuk rumah perlindungan perempuan, pos pengaduan desa, dan mekanisme penanganan kekerasan berbasis gender dan seksual diperkuat, produktivitas meningkat seiring bertambahnya rasa percaya pekerja.
Di sektor garmen, ketika kerja bersama untuk Satgas Anti Kekerasan berjalan, mekanisme pengaduan diperjelas, dan hubungan antara pekerja dan manajemen lebih transparan, stabilitas tenaga kerja meningkat dan kualitas kerja membaik.

Penguatan kapasitas perempuan di komunitas sekitar kawasan produksi, baik melalui kelompok simpan pinjam, kelompok usaha kecil, maupun pelatihan nutrisi dan kesehatan kerja juga berkontribusi secara langsung pada ketahanan ekonomi keluarga. Hal ini terbukti mempengaruhi stabilitas tenaga kerja selama masa fluktuasi pendapatan, sebagaimana terlihat dalam pengalaman pendampingan di desa-desa sekitar sentra perkebunan.

Jika dulu isu perlindungan perempuan dianggap sekadar kewajiban, kini ia telah menjadi parameter kompetitivitas. Para pembeli global, khususnya yang paling maju dalam standar ESG dan Human Rights Due Diligence tidak lagi melihat kualitas hanya sebagai hasil akhir.

Mereka melihat proses dan nilai yang melekat pada produk: apakah pekerja aman, apakah mekanisme pengaduan berjalan, apakah budaya kerja menghargai martabat perempuan. Dalam banyak sektor, reputasi pemasok kini sangat dipengaruhi oleh sejauh mana mereka mampu menjamin keamanan perempuan.

Bagi pelaku industri yang sudah lebih maju, perlindungan perempuan dipandang bukan sebagai charity, tetapi sebagai strategic advantage. Mereka memahami tiga hal penting.
Pertama, keselamatan dan martabat pekerja adalah fondasi kualitas. Perempuan yang bekerja tanpa rasa takut menunjukkan konsistensi, akurasi, dan komitmen yang lebih tinggi. Perusahaan yang berhasil menciptakan lingkungan aman merasakan dampaknya dalam penurunan perputaran karyawan, absensi, dan biaya laten akibat konflik.

Kedua, keamanan perempuan memperkuat kepercayaan rantai pasok. Pembeli global menilai keamanan perempuan sebagai indikator integritas bisnis. Pemasok yang mampu menunjukkan sistem pencegahan kekerasan berbasis gender dan seksual (KBG/S) yang kredibel lebih mudah dipercaya, lebih kompetitif, dan lebih mungkin dipilih untuk kontrak jangka panjang.

Ketiga, investasi pada keamanan perempuan menciptakan nilai bersama bagi pekerja, perusahaan, dan konsumen. Perempuan mendapatkan ruang aman untuk bekerja dan berkembang; perusahaan mendapatkan tenaga kerja stabil dan produktif; konsumen mendapatkan produk yang lahir dari rantai pasok yang etis dan bertanggung jawab.

Pada kenyataannya, banyak pelaku industri Indonesia sudah mulai bergerak ke arah ini. Penguatan sistem pengaduan di pabrik, pelatihan gender untuk manajemen lini, pos KBG desa di sekitar kawasan produksi, serta komite gender di lingkungan kerja, semuanya membuktikan bahwa ketika perempuan diberikan ruang aman dan suara, seluruh ekosistem kerja menjadi lebih profesional dan lebih produktif.

Pendekatan ini juga selaras dengan tren konsumen global yang semakin menghargai transparansi dan tanggung jawab sosial perusahaan. Produk-produk yang lahir dari rantai pasok aman, bebas kekerasan, dan menghargai martabat perempuan memiliki nilai diferensiasi yang kuat. Di pasar yang semakin kompetitif, aspek ini bukan lagi “nilai tambah”, melainkan syarat masuk.
Momentum 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menjadi saat yang tepat untuk melihat ulang strategi kompetitivitas Indonesia. Jika Indonesia ingin menjadi pemasok terpercaya di pasar dunia, daya saing tidak bisa hanya bersandar pada efisiensi biaya atau volume produksi. Ia harus bersandar pada kualitas manusia yang bekerja di dalamnya.

Perlindungan perempuan adalah titik temu yang kuat antara kepentingan ekonomi dan kepentingan kemanusiaan. Di sinilah industri Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinan: dengan menjadikan keamanan perempuan sebagai standar bisnis, bukan sekadar program sosial.

Pada akhirnya, sektor-sektor yang menjadi wajah Indonesia di mata dunia hanya dapat berkembang secara berkelanjutan jika perempuan di dalamnya aman. Dan ketika perempuan aman, perusahaan menjadi kompetitif, konsumen percaya, dan perekonomian berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh.

*) CEO CARE Indonesia