OPINI

Mewaspadai Intervensi Pemerintah ke BI, Pelajaran Independensi Bank Jepang

Logo Bank Indonesia di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta. Foto via Bloomberg
Logo Bank Indonesia di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta. Foto via Bloomberg
Oleh: Syafruddin Karimi*

Buat apa Wakil Menteri Keuangan hadir di rapat Gubernur BI? (Tempo, 27 November 2025). Kehadiran Wakil Menteri Keuangan dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memicu perdebatan tentang batas koordinasi fiskal–moneter. Perry Warjiyo menegaskan bahwa Pasal 43 ayat 1a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 membuka ruang bagi seorang menteri atau lebih untuk hadir dan menyampaikan pandangan tanpa hak suara. 

Ia bahkan menyebut langkah ini sebagai pengalaman pertama dalam sejarah BI. Pernyataan tersebut memberi dasar legal bagi kehadiran pemerintah, tetapi konteks politik dan ekonomi membuat publik menilai lebih jauh dampaknya terhadap independensi bank sentral. 

Situasi ini menarik untuk dibandingkan dengan model Jepang. Bank of Japan sudah lama mengizinkan kehadiran perwakilan pemerintah dalam rapat kebijakan moneter. UU BOJ menetapkan secara rinci hak bicara, hak mengajukan usulan, hingga hak meminta penundaan voting, sementara hak suara tetap dikuasai Policy Board
Setiap pandangan pemerintah juga tercatat dalam ringkasan opini resmi, sehingga publik dapat melihat batas pengaruh fiskal secara jelas. Transparansi seperti ini menciptakan mekanisme pengaman yang menahan potensi tekanan pada arah kebijakan moneter. Pemerintah hadir sebagai mitra dialog, bukan penentu keputusan.

Indonesia berada pada fase yang berbeda. Pasal 43 memberi legitimasi, tetapi tidak menyediakan detail teknis setara Jepang. Ketika Wakil Menteri Keuangan duduk dalam RDG untuk pertama kali, publik langsung menimbang apakah ruang koordinasi berubah menjadi pintu tekanan terhadap keputusan suku bunga. 

Pemulihan ekonomi, pelemahan rupiah, dan kebutuhan pembiayaan fiskal memberi alasan bagi pemerintah untuk memperkuat komunikasi dengan BI. Walau begitu, kondisi tersebut justru menuntut garis yang lebih tegas agar bank sentral tidak terseret dinamika fiskal jangka pendek.
Pembelajaran dari Jepang jelas: koordinasi hanya dapat berjalan sehat jika dibingkai oleh struktur yang kuat. Indonesia perlu menata ulang protokol kehadiran pemerintah di RDG, mulai dari penjelasan tertulis mengenai tujuan kehadiran sampai dokumentasi publik yang mencantumkan pandangan fiskal secara transparan. Dengan cara itu, masyarakat dapat menilai bahwa forum RDG tetap didominasi pertimbangan moneter yang objektif, bukan preferensi politik atau kebutuhan anggaran negara.

Independensi BI bukan sekadar klausul undang-undang; independensi adalah fondasi kepercayaan pasar dan stabilitas ekonomi. Koordinasi memang perlu, apalagi ketika perekonomian menghadapi tekanan global. 

Meski demikian, Indonesia harus membangun pagar kelembagaan yang cukup kokoh agar kolaborasi dengan pemerintah tidak menggeser posisi BI sebagai penjaga stabilitas rupiah. Jepang menunjukkan bahwa hubungan erat antara fiskal dan moneter tetap bisa berjalan tanpa menggerus otonomi bank sentral. Indonesia perlu mengikuti prinsip itu dengan disiplin.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Andalas