LINGKUNGAN HIDUP
Menteri LH Hanif: Perundingan COP30 Sangat Kompleks, Komitmen Iklim Indonesia Tetap Tegas
apakabar.co.id, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (LH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa proses negosiasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) di Belém, Brasil, berlangsung sangat kompleks dan intens. Dinamika inilah yang turut memengaruhi penyesuaian jadwal kepulangan delegasi Indonesia.
Hanif menjelaskan bahwa ketika delegasi Indonesia berada di tengah rangkaian perundingan iklim tingkat tinggi tersebut, perhatian publik di tanah air tersita oleh bencana banjir besar di Sumatra Utara yang menelan lebih dari 600 korban jiwa. Ia menyampaikan belasungkawa atas tragedi itu dan menegaskan bahwa komitmen pemerintah dalam menangani krisis iklim tetap menjadi prioritas.
“Kami ikut berduka dan berempati atas musibah di Sumatra Utara. Delegasi Indonesia sedang menjalankan misi diplomasi iklim global untuk kepentingan nasional dan penguatan penanganan risiko bencana di masa depan,” ujar Hanif saat pemaparan hasil COP30 di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Indonesia mengirim total 540 peserta ke COP30, terdiri dari 92 negosiator resmi pemerintah, 50–60 pengelola Pavilion Indonesia, serta perwakilan pelaku usaha dan mitra global. Dari jumlah itu, 143 orang merupakan delegasi resmi pemerintah.
“Perundingan iklim sangat teknis dan tidak sederhana. Diplomasi dilakukan melalui diskusi panjang dan melelahkan,” jelasnya.
Dalam proses perundingan, Indonesia mendorong kesepakatan pada tujuh agenda strategis, yakni Global Stocktake (GST) untuk mengevaluasi capaian penurunan emisi global, Technology Implementation Programme untuk mempercepat transisi energi terbarukan, Global Goal on Adaptation, Mitigation Programme, Just Transition Programme, operasionalisasi Article 6 (6.2 & 6.4) terkait pasar karbon global, serta penguatan komitmen Paris Agreement.
Namun, target implementasi penuh Article 6 sebagaimana keputusan COP29 di Baku, Azerbaijan, belum tercapai. Perundingan masih berada pada tahap penyusunan modalitas kesepakatan hingga 21 November 2025.
Forum negosiasi tersebut memiliki landasan kuat, baik dari mandat Paris Agreement maupun regulasi nasional seperti Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, serta Perpres 110/2025 sebagai penyempurnaan kerangka kebijakan. Indonesia juga memperkuat pengembangan pasar karbon melalui perdagangan karbon domestik (September 2023), perdagangan karbon internasional (20 Januari 2025), serta Mutual Recognition Agreement dengan lima skema global: Gold Standard, Plan Vivo, VERRA, dan Global Carbon Council.
“Instrumen karbon adalah mata uang baru untuk kolaborasi penurunan emisi dan pembangunan ekonomi hijau,” ujar Hanif.
Pemerintah menyiapkan empat instrumen utama dalam implementasi kebijakan karbon, yaitu perdagangan emisi, perdagangan offset, pajak karbon, dan kebijakan teknologi rendah karbon.
Hanif menekankan bahwa isu iklim tidak dapat ditangani pemerintah seorang diri. Pelibatan publik, akademisi, industri, dan masyarakat sipil diperlukan untuk memperkuat pengawasan dan kontribusi kebijakan.
“Kritik dan masukan dari pemerhati lingkungan adalah bahan koreksi yang membangun langkah bersama,” tegasnya.
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR