apakabar.co.id, JAKARTA – Syamsuddin Noor tak lagi menyandang status bandara internasional. PT Angkasa Pura (Injourney Airports) buka suara.
Penyesuaian status bandara mengacu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Km 31 tahun 2024 mengenai penetapan bandar udara internasional dan Keputusan nomor Km 33/2024 tentang tatanan bandar udara nasional.
Direktur utama Injourney Airports Faik Fahmi menjelaskan berlakunya keputusan tersebut sejalan dengan program transformasi pihaknya.
Program dimaksud adalah menata kembali bandara Indonesia. Dengan tujuan memaksimalkan konektivitas udara yang lebih efisien dan efektif.
Semua itu guna mendorong pertumbuhan pariwisata dan ekonomi, melalui pengelolaan ekosistem aviasi yang lebih baik.
Sebelum diterbitkan keputusan menteri perhubungan nomor 31 tersebut, 31 bandara Injourney Airports berstatus internasional.
Injourney kemudian mendapati fakta banyak sekali bandara berstatus internasional namun sudah lama tanpa penerbangan antarnegara.
“Atau ada penerbangan internasional tapi hanya 2-3 kali seminggu,” jelas Faik Fahmi dalam keterangan tertulisnya kepada apakabar.co.id, Senin (29/4).
Seperti halnya Bandara Syamsuddin Noor. Yang terbilang minim penerbangan internasional. Penerbangan paling intens di bandara kebanggaan warga Kalimantan Selatan adalah tujuan Jeddah. Syamsudin Noor setidaknya hanya mencatat rata-rata 4.200 penumpang tiap bulan.
Memiliki fasilitas seperti imigrasi maupun karantina, mereka pun masih butuh lebih banyak penerbangan jarak jauh agar status internasional kembali tersemat.
Faik melihat minimnya penerbangan internasional membuat tak efisien. Banyak fasilitas di terminal internasional dimanfaatkan secara terbatas.
“Bahkan menganggur terlalu lama seperti fasilitas x-ray, ruang tunggu di terminal dan sebagainya. Karena itu perlu dilakukan penataan ulang oleh pemerintah,” jelas Faik.
Melalui proses transformasi bandara yang tengah berlangsung -diawali dengan penggabungan PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II- InJourney Airports akan menerapkan pola regionalisasi di 37 bandara yang dikelola.
Dengan konsep regionalisasi, bandara ada yang diposisikan sebagai HUB dan ada yang sebagai SPOKE.
Nantinya bandara yang sudah tidak berstatus internasional bukan berarti akan sulit terakses oleh penumpang atau turis internasional.
Namun dengan pola HUB dan SPOKE itulah dapat membangun konektivitas yang baik dari bandara hub ke seluruh wilayah Indonesia.
“Pola seperti ini best practice di industri aviasi global dan sudah berlaku umum di banyak negara yang terbukti lebih efektif,” jelas Faik.
Dia mencontohkan Amerika Serikat. Dari 2.000 bandara yang mereka miliki, hanya 18 yang berstatus internasional.
Namun point of entry penerbangan internasional dari dan ke Amerika dibuat melalui 18 bandara tersebut. Yang memang didesain terhubung secara mudah ke bandara-bandara non-internasional.
Secara terperinci, Faik menjelaskan 16 bandara yang dikelola yang saat ini telah ditetapkan berstatus internasional.
Yakni Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh, Bandara Kualanamu Deli Serdang, Bandara Minangkabau Padang, Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Bandara Hang Nadim Batam, Bandara Soekarno Hatta Tangerang, Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, dan Bandara Kertajati Majalengka.
Selanjutnya Bandara Internasional Yogyakarta Kulon Progo, Bandara Juanda Surabaya, Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Bandara Zainuddin Abdul Madjid Lombok, Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Bandara Sam Ratulangi Manado, serta Bandara Sentani Jayapura.
“Melalui implementasi aturan Kementerian Perhubungan tersebut, kami optimistis tatanan kebandarudaraan nasional akan menjadi lebih baik dan juga berimplikasi positif terhadap konektivitas udara dan pariwisata di Indonesia,” tutup Faik.