NEWS

Jimly Sentil Polisi Isi 17 Kementerian: Ini Bukan Urusan Internal Semata

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) Jimly Asshidiqie saat di Balikpapan, Selasa (16/12). Foto: apakabar.co.id
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) Jimly Asshidiqie saat di Balikpapan, Selasa (16/12). Foto: apakabar.co.id
apakabar.co.id, BALIKPAPAN - Dari Balikpapan, kritik tajam diarahkan ke Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025. Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) Jimly Asshidiqie menegaskan penugasan polisi ke 17 kementerian dan lembaga bukan urusan internal Polri semata, melainkan persoalan lintas negara yang tak semestinya diatur lewat Perpol.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo menandatangani Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian. Aturan ini membuka ruang penugasan anggota Polri pada jabatan di dalam maupun luar negeri.

Khusus penugasan di dalam negeri, Perpol tersebut mengatur 17 kementerian dan lembaga yang dapat diisi anggota Polri, baik pada jabatan manajerial maupun nonmanajerial. Perpol ini ditetapkan Selasa (9/12/2025) dan disahkan sehari kemudian.

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) Jimly Asshidiqie menilai kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan persepsi, terutama soal kesesuaiannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Penugasan polisi di luar jabatan Polri ini memang menimbulkan perbedaan persepsi. Polri menganggap ini masalah internal, tetapi substansinya berkaitan dengan lembaga lain,” ujar Jimly di Balikpapan, Selasa (16/12/2025).


Menurut Jimly, persoalan ini akan dibahas secara khusus oleh KPRP dalam waktu dekat. “Kami akan bahas khusus pada Kamis nanti,” katanya. Ia menilai, terlepas dari isi pengaturannya, bentuk hukum Perpol ini bermasalah. Penugasan lintas lembaga, kata Jimly, seharusnya tidak diatur di level peraturan internal kepolisian.

“Ke depan, kami akan usulkan agar diangkat ke aturan yang lebih tinggi. Minimal Peraturan Presiden, tapi idealnya Peraturan Pemerintah, karena ini menjangkau ASN dan banyak kementerian lain,” ujarnya. Jimly mencontohkan irisan kewenangan tersebut dengan kementerian yang memiliki Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, seperti di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. “Ini bersinggungan dengan banyak instansi,” katanya.

Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 ini juga mengingatkan bahwa fungsi penyidikan di Indonesia tidak lagi dimonopoli Polri. “Sekarang ada sekitar 56 sampai 57 instansi yang punya kewenangan penyidikan,” ujar Jimly.


“Bukan hanya polisi, jaksa, dan KPK, tapi juga penyidik pegawai negeri sipil. Ini harus diatur ulang, termasuk Perpol ini. Materinya harus diangkat ke level yang tepat,” lanjutnya.

Terkait putusan MK, Jimly menilai putusan tersebut sejatinya hanya bersifat penguat. Norma dalam undang-undang sebenarnya sudah jelas, tetapi bermasalah pada bagian penjelasan. “Penjelasan undang-undang seharusnya memperjelas, bukan membuat norma baru. Tapi yang terjadi justru menimbulkan tafsir ke mana-mana. Ini yang harus diperbaiki,” tegasnya.

Jimly juga menekankan pentingnya penguatan profesionalisme Polri dan TNI. Penugasan di luar fungsi utama dinilai berpotensi mengaburkan profesionalisme institusi. “Kalau bertugas di tempat yang tidak relevan dengan fungsi kepolisian, seharusnya didorong untuk pensiun dari kepolisian,” ujarnya.


Meski begitu, Jimly menegaskan Perpol tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya. “Perpol-perpol seperti ini sudah lama terbit. Yang perlu dilakukan sekarang adalah evaluasi menyeluruh,” katanya.

Ke depan, KPRP mendorong agar Perpol dibatasi hanya untuk urusan administratif internal Polri. “Kalau menyangkut lembaga lain, itu di luar kewenangan Polri dan tidak boleh diatur lewat Perpol,” ujarnya.

Serap Masukan Daerah


Dalam kunjungannya ke Balikpapan, Jimly juga mendengar langsung berbagai masukan dari tokoh masyarakat hingga kalangan perguruan tinggi. Pertemuan tersebut berlangsung lebih dari tiga jam.

Banyak masukan berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup dan pertambangan di Kalimantan Timur, termasuk potensi konflik dan bencana lingkungan. “Masukan yang kami terima antara lain soal lingkungan dan pertambangan. Jangan sampai terjadi bencana seperti di Sumatera. Ini tentu berkaitan dengan peran kepolisian,” kata Jimly.

Ia menyoroti konflik agraria dan lingkungan yang kerap melibatkan korporasi dan masyarakat adat. Dalam situasi seperti itu, Jimly menegaskan polisi harus bersikap netral. “Polisi tidak boleh berpihak pada kepentingan bisnis atau politik. Tugasnya melayani masyarakat,” ujarnya.


Seluruh masukan dari Balikpapan akan dibawa ke Jakarta untuk melengkapi rumusan kebijakan reformasi Polri ke depan. Rumusan tersebut berpotensi dituangkan dalam undang-undang, PP, Perpres, maupun sebagian memengaruhi Perpol.

Namun, Jimly menegaskan penguatan undang-undang adalah kunci utama. Reformasi kepolisian, menurutnya, harus menyentuh struktur, budaya, dan instrumen kerja secara bersamaan. “Undang-undang harus disiapkan sebaik-baiknya, supaya reformasi Polri benar-benar efektif,” pungkasnya.