apakabar.co.id, JAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan pencabulan balita perempuan berusia dua tahun dengan terdakwa FR (29), ayah kandung korban, kembali ditunda oleh Pengadilan Negeri Balikpapan. Agenda akan dilanjutkan pada pekan depan, Rabu (3/9/2025).
Kuasa hukum terdakwa, Vena Naftalia, geram karena penundaan sudah tercium sejak sepekan lalu.
“Hari ini sidang ditunda karena ahli psikolog forensik dan ahli bahasa tidak hadir. Dari minggu lalu sebenarnya sudah ada informasi, tapi saya minta sidang tetap jalan. Yang datang hanya ahli forensik,” ujar Vena seusai sidang Rabu (27/8/2025).
Keterangan ahli forensik yang hadir juga dianggap tak relevan. Dokter menyebut korban mengalami luka robekan lama di organ intim, berusia sekitar 10 hari.
“Itu seharusnya ditelusuri penyidik. Bagaimana bisa luka lama langsung dikaitkan ke terdakwa?” tegasnya.
Menurut Vena, kesaksian yang dihadirkan jaksa pun rapuh. Ia mencontohkan keterangan bapak kos korban yang sama sekali tak tercantum dalam BAP. “Itu tidak bisa jadi bukti kuat,” katanya.
Lebih jauh, Vena menyoroti inkonsistensi keterangan psikolog. UPTD pernah menyebut korban kesulitan menyebut pelaku, tapi belakangan berubah jadi 80 persen yakin ayahnya sendiri pelaku.
“Di awal asesmen dibilang sulit, tapi belakangan tiba-tiba 80 persen yakin. Itu jelas janggal,” ucap Vena.
Ia menekankan keterangan ahli harus sah dan konsisten dengan BAP. “Kalau di BAP 50 persen tidak yakin, lalu di sidang berubah 80 persen yakin, itu tidak bisa diterima. Hukum tidak boleh berdasar asumsi,” katanya.
Vena menilai penundaan sidang memperlihatkan lemahnya pembuktian jaksa. “Ahli forensik bilang ada pelecehan, iya. Tapi dasar apa bapaknya ditetapkan tersangka? Sampai sekarang jaksa belum bisa membuktikan FR pelakunya,” ujarnya.
Ia menambahkan, meski FR sudah lima bulan ditahan, bukti kuat tak kunjung ditunjukkan. “Jaksa sendiri kesulitan. Ada tindak pidana, iya. Tapi siapa pelakunya belum terbukti,” lanjutnya.
Vena juga mengkritisi penggunaan tes poligraf (lie detector) yang baru dilakukan setelah penetapan tersangka. “Itu prosedur keliru. Seharusnya sebelum penetapan, bukan setelahnya. Kalau begini ada dugaan penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa tes kebohongan hanya dijalani FR, sementara terlapor lain justru lolos. “Seharusnya semua dites, kenapa yang terlapor malah tidak?” sebutnya.
Vena meminta publik ikut mengawal jalannya persidangan. “Kami ingin yang dihukum benar-benar pelaku, bukan orang yang dipaksa jadi tersangka tanpa bukti kuat,” pungkasnya.
Kasus ini memang menggemparkan Balikpapan. FR, ayah kandung korban, ditetapkan sebagai tersangka pencabulan. Padahal sebelumnya, kecurigaan sempat mengarah ke bapak kos korban yang akrab disapa “Pak De.”
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi bahkan sempat turun ke Balikpapan pada Januari 2025 untuk menemui keluarga korban.
Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yuliyanto, menjelaskan penetapan tersangka dilakukan setelah penyelidikan sejak Oktober 2024 dengan melibatkan dokter forensik, psikolog forensik, hingga psikolog klinis.
“Hasil pemeriksaan ada dua bekas luka, kering dan masih radang. Korban kemungkinan dua kali mengalami kekerasan seksual,” ungkapnya, Selasa (11/3/2025).
Polisi menyebut modus tersangka adalah memasukkan jari ke kemaluan korban. Barang bukti berupa empat ponsel dan jumpsuit cream berlengan merah milik korban juga disita.
Meski sudah jadi terdakwa, FR tetap menyangkal. Polisi pun masih mendalami motif. “Tersangka menyangkal. Mungkin nanti terlihat dalam proses,” kata Yuliyanto.
Ia menambahkan faktor pornografi bisa memicu kasus semacam ini. “Itu salah satunya terlihat dari history alat komunikasi tersangka,” jelasnya.
Kasus yang penuh kejanggalan ini mulai disidangkan sejak Juli lalu dan kini terus menjadi sorotan publik.