Oleh: Aris Arif Mundayat*
Universitas-universitas di Indonesia, pernah menjadi kawah candradimuka pembentukan dan pencarian intelektual, dan akademisi publik yang peduli akan kemajuan sosial. Namun sekarang ini tengah menghadapi krisis akademisi.
Muncul kasus plagiarisme di kalangan akademisi, pencatutan nama akademisi dari negara Malaysia untuk penerbitan jurnal, muncul penulis bayangan (ghostwriter) untuk ambisi mengejar gelar jabatan profesor, bahkan korupsi dana publik.
Semua itu bersumber dari neoliberalisasi universitas yang lebih dimaknai sebagai pencarian tanpa henti untuk keuntungan, peringkat, dan publikasi. Tampak semua itu telah menggantikan hasrat untuk memproduksi dan pencarian pengetahuan baru serta tumbuhnya akademia publik.
Esai ini berpendapat bahwa komersialisasi, rezim Scopus, plagiarisme, ghostwriting, dan ambisi yang meluas untuk memperoleh gelar profesor secara instan berkontribusi pada runtuhnya universitas kita.
Cengkraman Korosif dari Komersialisasi
Antara sepuluh hingga dua puluh tahun terakhir, orang semakin melihat universitas sebagai pusat keuntungan yang memprioritaskan perolehan pendapatan atas keunggulan akademik. Biaya mahasiswa meningkat, seringkali melebihi biaya pendidikan yang sebenarnya.
Hal ini mengarah pada persepsi siswa sebagai konsumen sederhana, melihat pendidikan mereka sebagai produk untuk dijual. Tekanan untuk menghasilkan pendapatan dapat menyebabkan komodifikasi pengetahuan itu sendiri.
Desain kursus “marketable” memenuhi kebutuhan industri yang dirasakan alih-alih mempromosikan pemikiran kritis dan menghasilkan lulusan yang menyeluruh. Penelitian juga menjadi subjek pertimbangan komersial.
Proyek dengan potensi untuk paten atau kemitraan menguntungkan menerima prioritas, sementara penelitian fundamental yang mengeksplorasi pertanyaan yang belum terjawab masih jauh tertinggal dan belum mampu menghasilkan produksi pengetahuan yang bermakna.
Keterbatasan dana penelitian juga menyebabkan akademisi hanya mampu menjalankan anggaran penelitian di kota-kota sekitar universitas, sehingga kemampuan kajian koparatif dengan negara lain tidak berkembang. Untuk penerbitan pun dikunci untuk masuk ke dalam index Scopus, yang kemudian dipersepsi sebagai capaian yang tertinggi.
Tirani dari Rezim Scopus
Sebuah sistem insentif yang menyesatkan telah muncul karena obsesi dengan Scopus, sebuah database kutipan internasional. Kuantitas diprioritaskan atas kualitas. Terlepas dari keterikatan atau keaslian pekerjaan mereka, akademisi menghadapi tekanan untuk menerbitkan sejumlah artikel dalam jurnal yang diindeks Scopus.
Situasi ini telah memunculkan mentalitas “publikasikan atau binasa” dalam derajat yang signifikan hal ini menyebabkan penurunan kualitas penelitian. Seringkali penelitian belum selesai, namun tuntutan untuk laporan administratif penerbitan sudah harus menjadi bukti.
Akibatnya akademisi tidak memiliki waktu untuk berkontemplasi secara lebih dalam untuk memperoduksi pengetahuan. Mereka kemudian berjuang untuk memenuhi target publikasi, mengorbankan analisis mendalam dan penemuan-penemuan inovatif demi kertas yang tertulis dengan tergesa-gesa. Khususnya untuk jurnal predator yang menjamin publikasi cepat dengan biaya yang lebih tinggi dari gaji pokok mereka.
Plagiarisme dan Ghostwriting
Tekanan untuk menerbitkan telah mendorong budaya plagiarisme dan ghostwriting. Dengan putus asa untuk memenuhi kuota penerbitan, beberapa akademisi menggunakan untuk mencuri karya orang lain.
Ini tidak hanya merusak integritas akademik tetapi juga meremehkan esensi kesarjanaan itu sendiri. Ghostwriting, di mana akademisi membayar orang lain untuk menulis makalah mereka, melemahkan kredibilitas penelitian.
Penulis hantu, seringkali merupakan sosok tersembunyi, menjadi penulis sejati, sementara nama akademisi hanya meminjamkan legitimasi pada karya yang diplagiasi.
Sindrom Profesor Instan
Ambisi untuk menjadi profesor telah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, bukan kemajuan alami melalui pengejaran akademis yang ketat. Ada tren yang mengganggu dari individu yang mencari pendekatan untuk mencapai gelar profesor.
Cara ini sering melibatkan praktik yang mencurigakan seperti memanipulasi data penelitian atau menerbitkan dalam jurnal predator. Keinginan untuk kepuasan instan memprioritaskan prestise atas pertumbuhan intelektual sejati.
Fenomena yang menarik secara kultural adalah kita di Indonesia dapat menemukan gelar profesor di batu nisan mereka yang telah berguguran sebagai akademisi. Mungkin lupa, bahwa gelar tersebut adalah jabatan akademik yang hanya berlaku di dunia akademik dan lingkungan universitas, dan tidak berlaku di akhirat.
Di dunia fana tidak ada lagi seminar, penelitian, bahkan tidak pula dituntut untuk menerbitkan jurnal yang terindex Scopus level akhirat. Bahkan sangat mungkin gelar profesor di batu nisan itu merupakan cita-cita kultural yang merupakan warisan feodalisme. Kondisi ini pun memengaruhi feodalisasi relasi kuasa di dalam kampus.
Faktor-faktor ini memiliki efek domino, yang menyebabkan penurunan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Akademisi mengajarkan siswa untuk memprioritaskan peringkat atas memelihara pikiran muda. Penelitian kehilangan fokusnya pada penemuan dan inovasi. Universitas kehilangan kemampuan mereka untuk menghasilkan pemikir kritis dan warga negara yang bertanggung jawab.
Panggilan Kolektif untuk Bertindak
Masih ada harapan. Kami membutuhkan pendekatan lintas arah untuk membangkitkan kembali universitas kita. Universitas kita harus kembali ke misi inti mereka untuk mempromosikan penciptaan dan penyebaran pengetahuan, demi kesejahteraan akademik, sosial, dan ekonomi, dan kesejahteraan manusia dalam berbangsa.
Beasiswa penelitian perlu memprioritaskan keaslian dan dampak, bukan hanya angka publikasi. Kita perlu menerapkan sistem yang kuat untuk mendeteksi plagiarisme dan ghostwriting untuk mempromosikan integritas penelitian. Universitas harus berinvestasi dalam program pelatihan yang melengkapi akademisi dengan etika penelitian yang kuat.
Kita perlu menantang pencarian buta peringkat internasional yang sekarang ini paling dibanggakan. Universitas perlu mengembangkan metrik alternatif yang mengukur dampak nyata dari penelitian dan pengajaran mereka pada masyarakat.
Kita harus mengalokasikan sumber daya untuk menarik dan mempertahankan pendidik yang bersemangat yang memprioritaskan pembelajaran siswa atas kuota penerbitan. Kita semua perlu memberdayakan siswa untuk menjadi konsumen informasi kritis.
Kita harus memasukkan pendidikan literasi media ke dalam kurikulum untuk membekali siswa dengan keterampilan untuk membedakan sumber-sumber yang dapat dipercaya dari informasi yang dihasilkan.
Penurunan universitas kita tidak dapat dihindari. Ini adalah tanggung jawab kolektif akademisi, siswa, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk membalikkan kecenderungan ini. Kita semua perlu memprioritaskan kesarjanaan sejati, praktik penelitian etis, dan pendidikan berkualitas.
Kita sekali lagi dapat mengubah universitas kita menjadi pusat belajar yang dinamis, mempersiapkan pemuda kita untuk menjadi pemimpin dan inovator masa depan bangsa kita.
* Founder Asah Kritis Indonesia, Dosen dan Kepala Laboratorium Sosiologi UNS