apakabar.co.id, JAKARTA – Aksi unjuk rasa menolak RUU Pilkada mendadak berubah menjadi momen penuh ketegangan usai aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (22/8).
Hal itu dilakukan saat mahasiswa mencoba menerobos barikade menuju depan Gedung DPR/MPR RI.
Kondisi di lapangan menjadi kacau ketika petugas kepolisian melepaskan tembakan gas air mata ke arah massa yang terus maju.
Kepulan gas yang menyengat membuat sebagian besar demonstran panik dan berhamburan mencari perlindungan.
Mereka berlari menuju tempat yang lebih aman, menghindari efek perih yang ditimbulkan gas tersebut.
Namun, tak semua demonstran memilih mundur; sebagian tetap bertahan, berusaha menerobos barikade polisi untuk mencapai tujuan mereka di depan Gedung DPR/MPR RI.
Meski dihujani gas air mata, semangat para demonstran untuk tetap bersatu tak surut. Mereka saling menjaga satu sama lain dengan berpegangan tangan, memegang pundak, atau tas rekannya agar tidak terpisah dari rombongan.
Teriakan penyemangat terdengar dari salah satu peserta aksi, yang mengajak rekan-rekannya untuk tetap bertahan. “Jangan mundur! Jangan mundur!” serunya, mengobarkan semangat massa untuk tetap berada di garis depan.
Namun, tak semua orang kuat menghadapi pedasnya gas air mata.
Beberapa di antaranya terpaksa mundur hingga mencapai Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta.
Untuk bertahan dari serangan gas, sejumlah demonstran mengoleskan pasta gigi di wajah mereka, sebuah taktik yang dikenal efektif untuk mengurangi efek gas air mata.
Ada juga yang menutupi wajah dengan handuk basah untuk mengurangi paparan langsung.
Di saat bersamaan, polisi juga mulai menyisir massa aksi yang telah memasuki tol dalam kota.
Akibat dari aksi ini, dua ruas tol yang menuju Slipi dan Cawang ditutup sementara, membuat jalur tersebut tidak bisa dilalui kendaraan.
Penutupan ini dilakukan demi menjaga keamanan dan menghindari insiden yang lebih besar.
Latar belakang dari aksi demonstrasi ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan mengenai ambang batas pencalonan gubernur dan wakil gubernur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa threshold pencalonan kepala daerah tidak lagi mengikuti persentase 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pemilu Legislatif (Pileg) sebelumnya, atau 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di wilayah yang bersangkutan.
Dalam Putusan MK tersebut, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan jalur independen atau perseorangan, yang sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Misalnya, threshold pencalonan gubernur Jakarta kini hanya memerlukan 7,5 persen suara pada Pileg sebelumnya, jauh lebih rendah dibandingkan ketentuan sebelumnya.
Namun, keputusan MK ini langsung memicu reaksi dari DPR dan pemerintah. Sehari setelah Putusan MK diumumkan, DPR segera menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada.
Dalam rapat tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berusaha mengakali Putusan MK dengan memasukkan pelonggaran threshold yang hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Ketentuan ini ditambahkan sebagai ayat baru pada Pasal 40 revisi UU Pilkada, yang dibahas hanya dalam waktu sekitar tiga jam.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg tetap diberlakukan untuk partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen, menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan aktivis.
Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan pengesahan revisi UU Pilkada dibatalkan.
Dasco menyatakan bahwa dengan tidak disahkannya revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024, maka putusan MK yang akan berlaku untuk pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024 mendatang.
“Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan JR MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Sudah selesai dong,” ujar Dasco.