apakabar.co.id, BANJARMASIN – Rupanya ada banyak problem di (Kalsel). Tak kasat mata, namun mencuat dalam diskusi Urun Rembug Demokrasi Banua di Banjarmasin, Senin (15/4) tadi.
Diskusi diikuti sejumlah tokoh politik, legislator, aktivis hingga akademisi. Salah satu topik menyoal sumber daya manusia (SDM). Datang dari pemerhati sosial; Noorhalis Majid. Kata dia, ini masalah besar.
Problem itu tak lepas dari perekonomian. Lalu berujung pada pendidikan. Di mana bagi dia, kekuasaan tak memihak pada rakyat.
“Dulu, orang disekolahkan ke Belanda. Lahirlah nama Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya. Karena pintar, lahirlah gagasan dari mereka dalam pemberontakan,” ucap Kepala Ombudsman Kalsel 2010-2020 itu.
Krisis SDM dan Pendidikan
Akhirnya, Founder Ambin Demokrasi itu punya kesimpulan. Kemiskinan tetap dipelihara di daerah untuk dimanfaatkan sedemikian rupa.
Ia lantas membayangkan. Kalsel memberangkatkan ratusan pelajar lewat beasiswa untuk pendidikan di luar. Mereka bakal menjadi aset agar bisa membantu dalam kemajuan daerah.
“Adakah pemerintah menggenjot beasiswa pendidikan buat kita? Sumbangsihnya buat anak Banua ke depan?” cecar Noorhalis.
Krisis SDM ini juga bisa jadi tak lepas dari peran transaksi politik dan kekuasaan. Menurutnya, ada kemunduran demokrasi di Indonesia. Termasuk di Kalsel. Setidaknya isu itu diperdebatkan dalam diskusi.
Batu Bara Tak Mensejahterakan
Asumsi itu selaras dengan sudut pandang Sekretaris NU Kalsel, Berry Nahdian Forqan. Kata dia, ada dua momok. Sumber daya alam (SDA) dan kesenjangan ekonomi.
“Pengelola sumber daya alam tidak dikelola dengan baik. Dan tidak mengembalikan manfaat lebih besar. Sehingga tidak mendongkrak kesejahteraan masyarakat Kalsel,” ungkap eks Direktur Eksekutif Walhi itu.
Mengambil contoh kasus penambangan ilegal di tambang timah berizin Bangka Belitung yang belakangan mencuat. Ia yakin, di Kalsel juga ada. Sayangnya banyak dimanipulasi.
“Kalau batu bara soal kalorinya, seharusnya tinggi. Dokumennya jadi rendah, sehingga pajaknya jadi rendah. Pola ini sudah lama berlangsung itu,” jelasnya.
Berry lalu menyebut beberapa istilah dalam eksplorasi SDA di Kalsel. Khususnya batu bara. Spanyol (separuh nyolong), atau Taliban. Kata dia, praktik gelap itu seolah dibiarkan begitu saja. Makin gila; lantaran diduga dibekingi aparat.
2005 silam, Berry pernah melakukan riset perusahaan tambang. “Penghasilannya dari membawa batu bara kita itu mencapai Rp72 Triliun, dan Rp4 Triliun per tahun. Dan buat Kalsel, cuma Rp1,2 Triliun. Itupun dibagi-bagi buat daerah lain,” bebernya.
Intinya, baru bara tak mendongkrak kesejahteraan masyarakat Kalsel.
Eks Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah itu lantas mengajak untuk merenung. “Bayangkan saja jika hasil itu dapat mengembangkan kemajuan di Banua,” ucapnya.
Tokoh Kalsel Perlu Sering Ngobrol
Aktivis sekaligus legislator, Sukrowardi sepaham dengan Noorhalis dan Berry. Karena itu, tokoh Kalsel perlu sering ngobrol. Contohnya seperti diskusi ini.
“Forum ini mencerminkan, jika kita ingin sejahtera, maka hilangkan pragtisme itu,” ucap Anggota DPRD Banjarmasin ini.
Kata dia, harus bisa membedakan antara pragtisme dan idealisme. Karena, kualitas wakil rakyat bisa dipertanggungjawabkan atau dituntut dari hasil yang dikerjakannya.
“Banua kita perlu banyak komunikasi. Ada kelompok yang merasa hebat sendiri, padahal masih banyak kemiskinan berpikir dan bertindak,” tandas Magister Administrasi Publik ULM itu.
Demi Kalsel, Bentuk Konsorsium
Anggota DPR RI, Syamsul Bahri R (SBR) pun merespons. Ia mengakui adanya transaksional dalam politik. Kata dia, cukup brutal. Tak elok kalau disanggah.
“Sebenarnya, bicara demokrasi di daerah kita, dapat dimaksimakan lewat wewenang. Seperti saya di Komisi XI DPR RI, mereka sangat welcome dan membantu dalam pembangunan dan keuangan,” imbuhnya.
Yang ia maksud, tinggal bagaimana cara menjadikan transaksi politik itu berbuah positif. Terutama untuk menunjang ekonomi dan pembangunan daerah.
Di sinilah peran pemegang kewenangan. Misal seorang legislator yang menyerap aspirasi rakyat untuk diperjuangkan agar teralisasi. Karena begitulah cara kerjanya.
Ia tak heran jika kebijakan terkesan menguntungkan oligarki. Karena, bagaimanapun pemilik usaha selalu mengutamakan kepentingannya. Maklum. Tinggal pemegang wewenang di eksekutif maupun legislatif mengambil peran.
“Wajar saja, akhirnya pengusaha mem-backup usahanya sendiri lewat jalur politik. Jadi demokrasi kita, jika lewat kewenangan bisa saja terdorong,” tutur Ketua Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA) Kalsel itu.
Di akhir, SBR menyarankan agar membentuk Konsorsium Banua. Untuk orang-orang yang peduli terhadap kemajuan di Kalsel. Sehingga satu frekuensi.
“Bentuk Konsorsium Banua. Konsernnya meningkatkan bargaining value Kalsel di kancah nasional,” ucapnya.