1446
1446

Usai Dwifungsi TNI, Kini Multifungsi Polri: Kok Masih Aktif?

Beda dengan UU TNI, sebaliknya revisi UU Polri mendesak untuk dilakukan.

Penempatan jenderal polisi di kementerian dan lembaga negara yang tidak berkaitan dengan tugas Polri dinilai sarat kepentingan elektoral dan dominasi kekuasaan saja. Foto: Kumparan

apakabar.co.id, JAKARTA – Multifungsi belasan jenderal polisi ke kementerian dan lembaga negara akan memperlemah fungsi Polri. Hanya menguntungkan segelintir elite polisi saja.

Mabes Polri baru-baru ini menempatkan belasan perwira tinggi di luar struktur Polri. Salah satunya tercermin dalam surat Telegram nomor 488/III/Kep.3/2025 yang diteken pada 12 Maret. Isinya memuat mutasi sejumlah anggota Polri, termasuk promosi bagi 881 personel serta penunjukan 10 Kapolda baru dan 10 Polwan sebagai Kapolres.

Namun, yang menjadi perhatian adalah penugasan sejumlah perwira tinggi di luar struktur Polri. Misalnya, Irjen Mohammad Iqbal yang sebelumnya menjabat Kapolda Riau kini ditugaskan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, sementara penggantinya, Irjen Herry Heryawan, sebelumnya bertugas di Kementerian Dalam Negeri. Begitu pula dengan Irjen Argo Yuwono yang dipindah ke Kementerian UMKM dan Brigjen Ruslan Aspan yang kini bertugas di Badan Pengusahaan Batam.

Fenomena ini bukan barang baru. Sebelumnya, ada Irjen Nico Afinta yang kini menjadi Sekjen di Kementerian Dalam Negeri dan Komjen Tomsi Tohir yang menjabat Irjen Kemendagri. Bahkan, personel Polri juga ditempatkan di kementerian yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tugas kepolisian, seperti Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, di mana Kombes Sunarto bertugas.

Salah Kaprah yang Dibiarkan

Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Polri secara tegas menyebutkan bahwa anggota kepolisian yang menduduki jabatan di luar kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun. Namun, dalam praktiknya, banyak perwira tinggi tetap aktif tanpa melewati proses tersebut.

Analis kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyoroti bahwa Polri kerap menggunakan penjelasan pasal 28 ayat (3) sebagai landasan hukum untuk menugaskan personelnya di berbagai instansi. Padahal, penjelasan pasal seharusnya hanya bersifat interpretatif, bukan menciptakan norma baru.

“Fenomena ini disebut sebagai ‘multifungsi Polri’, yang bertentangan dengan semangat profesionalisme dan independensi kepolisian,” kata Rukminto kepada media ini, Selasa (25/3).

Penempatan personel di kementerian seperti Perdagangan, Perhubungan, Pertanian, hingga Imigrasi dan Pemasyarakatan, lantas memunculkan pertanyaan: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Masyarakat, kementerian terkait, atau justru segelintir elite kepolisian?

Selain itu, lonjakan jumlah perwira tinggi di luar struktur juga dipandang sebagai dampak dari problem meritokrasi internal Polri. Daripada menyelesaikan masalah kaderisasi, langkah ini justru mengganggu regenerasi di kementerian dan lembaga lain.

Lebih parahnya, DPR sebagai lembaga pengawas justru dianggap melakukan pembiaran karena adanya kepentingan politik. Wacana menempatkan Polri di bawah kementerian pun menjadi perdebatan.

Jika alasan penolakan adalah kekhawatiran akan intervensi politik, maka pertanyaannya: apakah Polri yang langsung berada di bawah Presiden lebih independen?

“Ataukah lebih baik Polri dikembalikan ke Kementerian Pertahanan dan Keamanan atau bahkan membentuk Kementerian Keamanan baru?” jelas Rukminto.

Siapa yang Diuntungkan?

Fenomena “ParCok” —akronim dari “Partai Cokelat”, yang merujuk pada perwira Polri yang ditempatkan di berbagai instansi— semakin memperkuat dominasi kekuasaan terhadap kepolisian. Hal ini justru mengaburkan tugas utama Polri dalam menjaga keamanan dan menegakkan hukum.

“Sudah saatnya UU Nomor 2/2002 direvisi agar Polri benar-benar kembali ke tugas pokoknya, bukan menjadi alat kepentingan politik atau kekuasaan,” tegas Rukminto.

Menurutnya, keberadaan jenderal-jenderal polisi di kementerian dan lembaga negara memiliki keterkaitan dengan politik elektoral. Bagi Polri sebagai institusi negara, tidak ada kepentingan dalam hal ini.

“Yang berkepentingan justru adalah oknum elite kepolisian yang ingin mempertahankan jabatan dan akses terhadap sumber daya tertentu,” kritik Rukminto.

Menempatkan personel Polri di luar struktur tanpa relevansi dengan tugas utama kepolisian sangat bertolak belakang dengan visi membangun organisasi yang profesional. Jika profesionalisme Polri benar-benar menjadi prioritas, maka reformasi dan revisi UU Polri bukan sekadar opsi, tetapi keharusan.

54 kali dilihat, 55 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *