NEWS
Koalisi Sipil Desak Pemerintah Bongkar Perusahaan Penyebab Bencana Sumatera
apakabar.co.id, JAKARTA - Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FIONI) mendesak pemerintah melalui Kementerian Hutan agar membuka secara transparan daftar perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera, termasuk konsesi, jenis pelanggaran dan status penanganan hukumnya.
Koalisi mengungkapkan perlunya mengaitkan penegakan hukum kehutanan dengan pencegahan bencana, khususnya wilayah rawan banjir. Termasuk menghentikan praktik pembiaran dan negosiasi tertutup dengan pelaku perusakan hutan. Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat terdampak dan publik dalam pengawasan, pemulihan hutan dan penataan ulang tata kelola kawasan.
“Banjir di Aceh, Sumbar, dan Sumut bukan musibah alam semata. Ia adalah akibat dari kebijakan dan pembiaran atas perusakan hutan. Menutup nama perusahaan berarti membiarkan kejahatan ekologis terus berulang,” tegas FOINI dalam keterangan tertulis dikutip Sabtu (20/12).
Sumatera merupakan salah satu pulau dengan tingkat deforestasi dan alih fungsi hutan yang tinggi, terutama akibat ekspansi perkebunan skala besar, hutan tanaman industri, serta pertambangan. Kerusakan di kawasan hulu dan bentang alam kritis secara langsung meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir. Ironisnya, meski negara memiliki data konsesi, hasil pengawasan, dan temuan pelanggaran, informasi tentang siapa pelaku korporasi justru tetap dirahasiakan dari publik.
Praktik ketertutupan ini mencederai hak masyarakat atas informasi, mengabaikan prinsip akuntabilitas penegakan hukum, dan berpotensi melanggar Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lebih jauh, sikap ini melemahkan komitmen pemerintah dalam pengendalian deforestasi, penanggulangan krisis iklim, dan pengurangan risiko bencana.
FIONI mengkhawatirkan bila nama dan status hukum perusahaan perusak hutan tidak dibuka akan membuat banjir dan bencana ekologis akan kembali terulang karena penegakan hutan kehutanan yang hanya bersifat simbolik.
"Korporasi menikmati impunitas, sementara masyarakat menanggung dampaknya. Upaya pemulihan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola rakyat menjadi semu," pungkasnya.
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY

