Risiko Penutupan Selat Hormuz dan Peran Strategis RI di Tengah Krisis

Selat Hormuz yang terletak di Iran Selatan. Foto: AP

Oleh: Syafruddin Karimi*

Serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—memicu lonjakan ketegangan di Timur Tengah dan membawa dunia pada jurang ketidakstabilan global. Presiden Donald Trump menyebut operasi ini sebagai “kesuksesan militer spektakuler”, bahkan mengisyaratkan kemungkinan perubahan rezim jika Iran tidak tunduk pada tuntutan perdamaian Washington (Stewart & Ali, 2025).

Di saat yang sama, Iran memperingatkan bahwa semua opsi ada di meja, termasuk menutup Selat Hormuz—jalur vital yang mengangkut hampir seperlima minyak dunia. Risiko geopolitik ini bukan sekadar ancaman regional, tetapi juga bahaya sistemik terhadap ekonomi global.

Penutupan Selat Hormuz bukan isapan jempol. Iran memiliki kemampuan teknis dan historis untuk melumpuhkan jalur tersebut dengan ranjau laut, serangan drone, atau penyitaan kapal tanker, seperti yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir (Bousso, 2025).

Baca juga: 

Ketika jalur ini terganggu, harga minyak bisa melonjak drastis hingga menyentuh USD 130 per barel, memicu inflasi global, dan mempersempit ruang fiskal negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kita berisiko menghadapi depresiasi rupiah, tekanan terhadap cadangan devisa, serta meningkatnya subsidi energi dan harga pangan.

Dalam situasi kritis ini, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Sebagai anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan pemimpin kelompok negara berkembang D-8, Indonesia memiliki legitimasi moral dan mandat politik untuk mendorong dialog damai antarnegara Muslim dan mencegah eskalasi destruktif lebih lanjut.

Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mendorong pertemuan luar biasa OKI dan forum D-8 guna menegaskan posisi dunia Islam terhadap kedaulatan Iran dan mengecam penggunaan kekuatan militer oleh negara adidaya terhadap negara Muslim yang berdaulat.

Dunia Islam tidak boleh membiarkan perpecahan internal menjadi celah yang dimanfaatkan kekuatan eksternal. Solidaritas terhadap Iran tidak berarti menyetujui semua kebijakan Teheran, tetapi merupakan bentuk keberpihakan terhadap prinsip keadilan, kedaulatan, dan perdamaian.

Baca juga: Selat Hormuz Ditutup, Celios: Komoditas Ekspor RI Diuntungkan

Negara-negara anggota GCC, seperti Arab Saudi dan UEA, juga harus berhenti bersikap ambigu dan mulai menunjukkan empati terhadap sesama bangsa Muslim yang menjadi target serangan militer sepihak.

Indonesia memiliki sejarah panjang diplomasi damai. Inilah saat yang tepat untuk mengaktifkan kembali peran tersebut dengan menawarkan mediasi, mendorong gencatan senjata, dan mengembalikan semua pihak ke meja perundingan.

Dunia sedang menyaksikan apakah Indonesia mampu menjadi jangkar moral dalam krisis ini. Diam bukanlah netralitas, melainkan kegagalan dalam menjalankan amanah global.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

4 kali dilihat, 4 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *