Daniel Tangkilisan Divonis Bersalah, Bentuk Pembungkaman Aktivis Lingkungan

Tangkapan layar -Sidang putusan kasus kriminalisasi Daniel yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jepara pada Kamis, 4 April 2024, pukul 10.00 WIB. Foto: apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jepara memvonis bersalah aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan dengan hukuman tujuh bulan penjara dan denda lima juta rupiah atau subsider 1 bulan.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sejumlah lima juta rupiah, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan,” bunyi amar putusan yang dibacakan oleh Hakim Ketua Parlin Mangatas Bona Tua pada 4 April 2024 pukul 11.10 WIB.

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Advokat Pejuang Aktivis Lingkungan Hidup & Koalisi Nasional Selamatkan Karimunjawa mengutuk keras putusan majelis hakim karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.

“Mengutuk keras Majelis Hakim Perkara No. 14/Pid.sus/2024/PN.Jpa pada Pengadilan Negeri Jepara, yang telah memberikan putusan tidak sesuai koridornya, tidak mempertimbangkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku,” ujar salah satu penasehat hukum Daniel, Sekar Banjaran Aji, Kamis (4/4).

Putusan tersebut, kata Sekar, bahkan bertentangan dengan SKB 3 Menteri yang seharusnya dipegang sebagai aturan dalam mengimplementasikan UU ITE. Lebih lanjut, ia meminta pihak berwenang untuk mengusut majelis hakim yang mengadili Daniel dan memeriksa jajaran Penyidik Unit I Krimsus di Polres Jepara yang memproses kasus tersebut.

Senada, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menjelaskan bahwa putusan bersalah atas Daniel menambah panjang daftar kriminalisasi warganet yang menyasar pada kelompok kritis dan vokal. Berdasarkan catatan SAFEnet, sepanjang 2023 setidaknya ada enam aktivis dari total 126 orang yang dilaporkan ke polisi dengan menggunakan pasal karet dalam UU ITE.

“Putusan bersalah ini merupakan salah satu bentuk pembungkaman atas ekspresi online yang akan sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, karena orang-orang yang kritis terhadap permasalahan bangsa malah dengan mudahnya dipidanakan,” kata Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet.

UU ITE yang sudah direvisi pada awal tahun 2024, tegas Nenden, masih menjadi alat yang efektif untuk memberangus kebebasan berbicara masyarakat Indonesia.

Usai persidangan, kelompok warga pendukung Daniel melakukan aksi solidaritas di depan gedung PN Jepara dengan aksi diam melakban mulut. Persidangan itu dianggap sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi pembela lingkungan, upaya menghambat partisipasi publik, dan pengalihan atas masalah utama di Karimunjawa, yaitu tambak udang intensif ilegal yang mencemari dan merusak ekosistem Taman Nasional Karimunjawa, yang kerap dikritik Daniel.

“Kami kecewa dengan bagaimana hakim mempertimbangkan putusannya untuk Daniel. Hakim sama sekali tidak menilai bagaimana saksi ahli dari Pendamping Hukum memberikan kesaksiannya” ungkap Kasno, salah satu massa aksi.

Ia menambahkan, “Entah kesaksian atau bukti apa lagi yang bisa membela Daniel bahwa aktivis lingkungan tidak bisa dihukum secara perdata maupun pidana.”

Sebelumnya, persidangan Daniel telah mendapatkan perhatian di tingkat nasional maupun internasional. Tercatat lebih dari 8.700 orang telah menandatangani petisi yang menuntut Daniel segera dibebaskan di change.org. Selain itu, 31 organisasi masyarakat sipil internasional telah mengeluarkan pernyataan sikap bersama menuntut pembebasan Daniel dari segala tuntutan.

Adapun putusan majelis hakim lebih ringan dari permintaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Daniel dihukum 10 bulan penjara sekaligus denda lima juta rupiah karena dianggap melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

336 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *