KPK soal Dagang Suara Ketua KPU Banjarbaru

Proses hukum maupun vonis dianggap ahli mengabaikan delik korupsi dan gratifikasi yang diperbuat Rozy selaku Ketua KPU Banjarbaru. Bagaimana KPK meresponsnya?

Rozy Maulana saat menjalani sidang vonis perkara dagang suara di Pengadilan Batulicin, Rabu 4 September 2024. Foto via Pikiran Rakyat

apakabar.co.id, JAKARTA – Menjual data pemilih, Rozy Maulana hanya divonis enam bulan penjara. Polisi dan jaksa dianggap mengabaikan unsur korupsi maupun gratifikasi yang diperbuat ketua KPU Banjarbaru itu.

Pegiat hukum, Herdiansyah Hamzah melihat perkara Rozy bukanlah sebatas penipuan biasa. Ia meminta KPK tak mengabaikan indikasi perbuatan korupsi dan gratifikasi yang diperbuat Rozy.

“Yang ditangani saat ini adalah perkara penipuan, kan beda kasus. Kalau ada unsur korupsi, KPK sebaiknya masuk,” jelas Castro, sapaan Herdiansyah dihubungi apakabar.co.id, Minggu (8/9) siang.

Sekali lagi, Castro melihat perkara Rozy bukanlah sebatas penipuan saja. Apalagi, Rozy melakukannya saat menjabat sebagai ketua KPU Banjarbaru.

“Karena penyelenggara negara, seharusnya dijerat dengan delik suap dan gratifikasi sesuai UU Tipikor,” ujar peneliti pusat studi antikorupsi Universitas Mulawarman ini.

Keterlibatan pihak lain, sambung Castro, tentu juga harus diusut tuntas. Agar membuat terang benderang perkara ini.

Lalu bagaimana respons KPK? Berikut petikan wawancara apakabar.co.id dengan Jubir KPK Tessa Mahardika via pesan Whatsapp, Minggu siang.

Media: Baik polisi dan kejaksaan hanya menjerat Rozy dengan pasal penipuan dan penggelapan. Padahal, para ahli berpendapat sudah jelas kasus ini adalah suap-menyuap. Dengan modus dagang suara. Pemberi suap juga tidak diproses hukum sama sekali.

KPK: Perkara ini siapa yang menangani?

Polres Tanah Bumbu lalu ke Kejari Tanah Bumbu. Yang sidangnya oleh Pengadilan Batulicin.

Kalau begitu, bisa ditanyakan ke Humas Polda dimaksud atau Mabes Polri.

Atau ditanyakan kepada ahli hukum sekalian.

Tidak etis kalau KPK mengomentari putusan atas pengusutan yang dilakukan APH [aparat penegak hukum] lain.

Lalu bagaimana dengan perkara dugaan korupsi dan gratifikasinya mengingat yang diusut oleh APH lain hanya penipuannya saja?

Kembali. Silakan ditanyakan langsung ke Humas Mabes Polri atau Poldanya.

Atau ke Komisi Yudisial untuk menanyakan terkait putusan hakimnya.

Bila perkara dimaksud ditangani oleh KPK, maka akan saya berikan tanggapan.

Dimintai tanggapannya, pegiat hukum kepemiluan, Hairansyah melihat kurang tepat sikap KPK. Pendekatannya bukan soal etis atau tidak.

“Tapi pada substansi kasus di mana KPK memiliki kewenangan atau tidak dalam menanganinya,” jelas Ancah, sapaan karibnya, Minggu siang.

Bagi mantan anggota KPU Kalsel 3 periode ini, sikap proaktif KPK amat diperlukan publik. Sebab, sekali lagi, Rozy menjual data pemilih dalam kapasitas sebagai ketua KPU Banjarbaru.

“KPK perlu proaktif sehingga bisa menguak dugaan pidana korupsi yang oleh APH lain tidak dilakukan,” jelas komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 ini.

Analisisnya, peristiwa ini sudah menyangkut penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan oleh Rozy selaku penyelanggara pemilu. “Yang seharusnya melindungi hak pilih warga negara sebagai hak konstitusional yang bersifat fundamental.”

Seperti diwartakan sebelumnya, selembar kuitansi pembayaran tertanggal 7 Februari 2024 senilai Rp3,6 miliar jadi bukti perkara Rozy. Kuitansi inilah yang digunakan penyidik menjerat Rozy. Rozy diduga menipu Gusti Denny Ramdhani. Duit Rp3,6 miliar diberikan ke Rozy agar dapat menaikkan capaian suara caleg tertentu.

Rp3,6 miliar jika dirinci adalah harga untuk data 24 ribu suara warga Banjarbaru. Data yang mencakup alamat dan informasi pribadi para pemilih ini umumnya menjadi acuan ‘serangan fajar’ menjelang hari pemungutan suara.

Setelah mengantongi data by name by address itu, ketika meminta fotokopi KTP, pemilih diduga sudah dijanjikan mendukung calon tertentu. Dengan pemberian uang Rp150 ribu per warga. Media ini belum mengetahui siapa caleg DPR RI dimaksud.

Yang pasti, belakangan Rozy diduga tak dapat menepati janjinya. Uang miliaran yang diberikan tersisa Rp65 juta. Namun suara yang diinginkan tak tercapai atau hanya 4 ribuan saja. Setelah dipolisikan, Rozy pun ditahan sejak 22 Juli 2024.

Jaksa menuntut Rozy sembilan bulan penjara. Majelis hakim kemudian memvonis Rozy enam bulan penjara, Rabu 4 September 2024. Dalam sidang kelima yang beragendakan pembacaan putusan itu, Rozy terlihat sujud syukur. Jaksa penuntut maupun kuasa hukum Rozy kompak tak menyoal putusan hakim tersebut.

204 kali dilihat, 12 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *