World Water Forum Ke-10, Jatiluwih Siap Sambut Delegasi 

Sejumlah wisatawan mancanegara menikmati suasana saat liburan di Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (12/4/2024). Objek wisata tersebut menjadi salah satu lokasi kunjungan delegasi World Water Forum (WWF) pada 18-25 Mei dan saat ini masih dalam persiapan pembenahan infrastruktur yang sudah mencapai 70 persen. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Menjelang pelaksanaan World Water Forum Ke-10 atau Forum Air Dunia, Provinsi Bali terus berbenah. Gaung pelaksanaan forum internasional yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan di sektor sumber daya air itu mulai terasa di beberapa tempat di Bali.

Salah satu tempat yang menjadi etalase saat WWF Ke-10 adalah Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih yang berada di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Desa Jatiluwih dipilih karena desa tersebut mampu menjaga dan merawat sumber daya alam sebagai bagian dari budaya dan juga sumber kehidupan.

Manager DTW Jatiluwih John Ketut Purna menjelaskan, Desa wisata Jatiluwih dihias dengan berbagai macam penjor. Bahkan, panitia menyiapkan penjor Pancasila berukuran raksasa dipadukan Bendera Merah Putih dalam rangka menyambut delegasi WWF.

Banner, umbul-umbul, dan orang-orangan sawah berbagai ukuran khas Bali ikut dipersiapkan. Para delegasi nantinya disambut dengan tari tradisional, yaitu tari Rejang diiringi musik tumbuk lesung. Pun tak ketinggalan, berbagai panganan khas masyarakat lokal untuk menambah sensasi merasakan kenikmatan hidup di Jatiluwih.

Setelah menikmati suguhan selamat datang, panitia akan memperkenalkan sistem pengairan tradisional yang disebut ‘Subak’. Sistem irigasi dengan metode tradisional tersebut telah menempatkan Jatiluwih sebagai lumbung padi bagi Pulau Dewata.

“Selain berkunjung ke persawahan Jatiluwih, delegasi WWF akan diajak melakukan prosesi melukat, salah satu tradisi atau upacara yang biasa dilakukan oleh umat Hindu, khususnya di Bali,” ujar Ketut Purna dalam keterangannya, Jumat (10/5).

Ketut menegaskan, magnet utama yang menjadikan Jatiluwih ramai dikunjungi wisatawan adalah hamparan sawah bertingkat yang terbentang di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sawah dengan luas sekitar 300 hektare tersebut ditopang oleh sistem pengairan yang diwariskan secara turun-temurun dengan sistem subak. Subak merupakan organisasi tradisional yang mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Oleh karena itu, tidak heran jika Jatiluwih ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2012.

Ketut Purna mengungkapkan Jatiluwih merupakan representasi pengembangan pariwisata Indonesia di masa depan yang berbasis pada keberlanjutan lingkungan (sustainable tourism). Ke depan, pengelolaan persawahan di Jatiluwih diarahkan ke konsep perkebunan organik, di mana 100 persen pupuk yang digunakan merupakan penyubur alami.

“Misalnya menggunakan kotoran sapi milik penduduk lokal. Itu diharapkan menambah manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat, serta menjadi contoh penerapan pariwisata berkelanjutan karena lebih ramah lingkungan,” terangnya.

Ketut menambahkan, “Untuk penanaman selanjutnya subsidi pupuk dari manajemen operasional Jatiluwih menjadi 75 persen organik dan 25 persen anorganik. Tahun 2025, kita dukung dengan pupuk organik saja.”

Penerapan pupuk organik, jelas Ketut, merupakan upaya untuk mengembalikan ekosistem sawah seperti sediakala. Hal itu suatu bentuk implementasi dari pariwisata berbasis komunitas atau community-based tourism, yang melibatkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata.

“Jatiluwih merupakan destinasi wisata yang dimiliki oleh perseorangan dengan daya tarik utamanya adalah persawahan yang dimiliki oleh banyak petani setempat,” ujarnya.

Sawah-sawah yang dimiliki oleh perorangan itu, ujar Ketut, dimiliki oleh sedikitnya 500 orang. “Apapun yang didapat dari kunjungan wisatawan, dikembalikan kepada petani untuk kesejahteraan mereka,” kata Ketut Purna.

Oleh sebab itu, pengelola berusaha merangkul para petani setempat agar bersama-sama mendukung program besar yakni pengembangan Jatiluwih yang dilakukan secara kolektif kolegial. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan banyak pihak, terutama petani setempat.

“Dengan demikian, pengembangan pariwisata diyakini akan berkontribusi positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat setempat,” tegasnya.

Selain itu, ungkap Ketut, pihaknya terus mendorong masyarakat agar ikut menjaga kelestarian sumber mata air. Hal itu yang mereka lakukan di Hutan Batukaru.

Dengan terjaganya sumber air, Desa Jatiluwih mampu menghasilkan padi sebagai komoditas utama hasil pertaniannya. Termasuk, beras merah yang merupakan beras merah terbaik di wilayah Bali.

“Uniknya, masyarakat lokal juga mengolah beras merah menjadi teh yang bermanfaat bagi kesehatan,” jelasnya.

Sejauh ini, Jatiluwih memiliki beberapa aktivitas yang siap ditawarkan kepada wisatawan, di antaranya tracking sambil menikmati keindahan persawahan, bersepeda, demo masak, serta berkunjung ke perkebunan kopi, alpukat, dan durian.

Informasi dari pengelola menyebutkan, retribusi pariwisata di Jatiluwih per tahun mencapai Rp10 miliar sampai Rp12 miliar. Setiap harinya, terdapat 800-1.300 wisatawan mancanegara yang mengunjungi Jatiluwih, sementara wisatawan domestik sebanyak 200-500 per hari. Dengan demikian, rata-rata kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara mencapai 1.700 orang per hari.

“Sukses pengelolaan DTW Jatiluwih membuktikan pengembangan pariwisata bisa berjalan seiring dengan pelestarian alam dan budaya serta peningkatan kesejahteraan warga lokal,” tandasnya.

387 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *