NEWS

Kementerian Kebudayaan Tetapkan 514 Warisan Budaya Takbenda di Apresiasi WBTbI 2025

Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia kembali menggelar Apresiasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) 2025 di Plaza Insan Berprestasi, Jakarta, Senin (15/12).
Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia kembali menggelar Apresiasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) 2025 di Plaza Insan Berprestasi, Jakarta, Senin (15/12).
apakabar.co.id, JAKARTA - Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia kembali menggelar Apresiasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) 2025 di Plaza Insan Berprestasi, Jakarta, Senin (15/12). 

Apresiasi WBTbI 2025 mengusung tema “Membingkai Warisan, Menghidupkan Masa Depan”, yang menempatkan warisan budaya takbenda sebagai praktik hidup yang relevan bagi pembangunan. Namun, tema tersebut sekaligus menjadi pengingat bahwa tanpa kebijakan lanjutan yang konsisten, warisan budaya berisiko hanya menjadi simbol, bukan kekuatan sosial dan ekonomi.

Sepanjang 2025, Kementerian Kebudayaan menerima 804 usulan Warisan Budaya Takbenda dari 35 provinsi. Setelah melalui penilaian Tim Ahli dan verifikasi lapangan, sebanyak 514 unsur ditetapkan sebagai WBTbI. Dengan demikian, total penetapan sejak 2013 hingga 2025 mencapai 2.727 unsur. Angka ini menunjukkan produktivitas penetapan, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang kapasitas negara dalam memastikan perlindungan dan pemanfaatan ribuan warisan tersebut secara berkelanjutan.

Penyerahan Sertifikat Penetapan kepada pemerintah daerah kembali menegaskan tanggung jawab daerah dalam menindaklanjuti penetapan. Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, penetapan seharusnya diikuti langkah konkret pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Tanpa itu, sertifikat berisiko menjadi dokumen simbolik yang tidak mengubah kondisi komunitas budaya di lapangan.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon secara terbuka mengingatkan bahwa warisan budaya takbenda tidak boleh berhenti pada pencatatan. Di balik seremoni tahunan ini, tantangan utama yang mengemuka adalah memastikan penetapan warisan budaya tidak berhenti pada pengakuan administratif tanpa dampak nyata bagi masyarakat pemiliknya.

“Kita tidak ingin warisan budaya ini hanya sekadar tercatat, tetapi ingin bagaimana warisan ini dikembangkan, dimanfaatkan, dan dibina,” tegas Fadli.

Ia menekankan bahwa penetapan warisan budaya harus berbanding lurus dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat. 

“Ketika wastra dari suatu daerah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, hal ini akan menjadi sumber kebanggaan dan memicu pertumbuhan ekonomi budaya serta industri budaya di berbagai daerah, termasuk UMKM,” ujarnya.

Menurut Fadli, berbagai ekspresi budaya Nusantara—mulai dari seni pertunjukan, tari, hingga musik—memiliki daya tarik kuat bagi wisatawan dan berpotensi menggerakkan ekonomi kreatif di tingkat lokal. “Jadi di hilirnya itu ada ekonomi kreatif, ada pariwisata, ada UMKM, ada koperasi, dan lain-lain,” katanya.

Ia juga menyoroti tren global di mana budaya dijadikan komoditas strategis dan kekuatan soft power. 

“Negara-negara maju yang tidak mempunyai sumber daya alam seperti kita, mereka justru mengekspor budayanya, menjadikannya komoditas dan soft power, seperti Hollywood di Amerika, Bollywood di India, dan Korean Wave di Korea Selatan,” jelasnya.

Selain seremoni penyerahan sertifikat, Apresiasi WBTbI 2025 diramaikan pameran budaya, lokakarya, pertunjukan seni, serta stan daerah. Namun, keberlanjutan kegiatan semacam ini kembali bergantung pada keberpihakan kebijakan dan anggaran, bukan sekadar agenda tahunan.

Apresiasi WBTbI 2025 pada akhirnya menegaskan bahwa tantangan terbesar pemajuan kebudayaan bukan terletak pada jumlah penetapan, melainkan pada keberanian negara memastikan warisan budaya takbenda benar-benar hidup, memberi nilai tambah ekonomi, dan tetap berada di tangan komunitas pemiliknya.