News  

Penerima KJP Gagal PPDB, JPPI: Pemprov Jakarta Wajib Sediakan Sekolah Bebas Biaya

Pj Wali Kota Bogor Hery Antasari memeriksa proses pendaftaran PPDB zonasi di SMP Negeri 1 Bogor, Senin (1/7/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menerima sedikitnya 25 aduan terkait anak-anak penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang gagal diterima di sekolah negeri melalui berbagai jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).  Berbagai jalur penerimaan telah dilalui, mulai dari prestasi, zonasi, hingga afirmasi ternyata tidak membuahkan hasil, malah berujung jalan buntu.

Pengaduan itu, kata Ubaid, menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap anak yang rentan putus sekolah. Atas dasar itu, masyarakat Jakarta menagih janji Pemprov DKI Jakarta terkait jaminan akses pendidikan bagi semua.

“Meski berbagai jalur sudah disedikan, saya menduga kuat, jumlah riil di lapangan lebih dari 25 kasus. Sebab penerima KJP jumlahnya capai ratusan ribu,” kata Ubaid, Senin (1/7).

Kondisi itu, menurut Ubaid, sebagai gambaran anomali dalam sistem PPDB. Seharusnya para peserta didik mendapat kepastian dari awal. Bukan malah masih pontang-panting di tahap akhir.

“Bayangkan saja, pasti ada beberapa orang tua dari penerima KJP ini adalah para pengemudi Jaklingko. Mereka harus peras keringat untuk melayani warga Jakarta tiap hari naik Jaklingko gratis, tapi mencari sekolah untuk anaknya saja mereka harus terlunta-lunta,” paparnya.

Hingga hari ini, banyak peserta didik yang ternyata masih kebingunan mencari sekolah. “Saya berharap Pemprov DKI Jakarta mendengarkan suara dari para penerima KJP ini, dan mencarikan sekolah. Bukan mereka yang mondar-mandir cari sekolah, tapi Dinas Pendidikan harus buka pengaduan khusus untuk penerima KJP ini dan mencarikan sekolah, ” tegas Ubaid.

Ia menambahkan, “Jika tidak, anak-anak itu pasti akan putus sekolah karena biaya.”

Fenomen serupa tidak hanya terjadi di Jakarta. Nasib demikian juga dialami oleh penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) di berbagai daerah. Banyak dari peserta didik tidak kebagian bangku sekolah, alias gagal dalam seleksi PPDB.

Menurut Ubaid, mereka itu calon potensial untuk putus sekolah. Selain karena biaya sekolah di swasta terbilang mahal, anak dari keluarga ekonomi lemah ternyata banyak yang menjadi incaran sindikat pekerja anak.

“Karena itu, seluruh pemerintah daerah harus mendata mereka. Siapa saja yang gagal, dan mencarikan sekolah buat mereka dengan bebas biaya,” terang Ubaid.

Di tahap akhir PPDB seperti sekarang ini, sudah menjadi rahasia umum, selalu saja ada bangku sisa yang belum terisi. Modus kecurangan seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya masih berpeluang terjadi.

Modusnya, sisa bangku tersebut sengaja disembunyikan, lalu diam-diam diperjualbelikan. “Tahun ini janganlah dilakukan. Itu tindakan biadab, culas, dan bertentangan dengan ruh pendidikan,” kata Ubaid.

Untuk itu, pemerintah daerah wajib transparan dan memberikan sisa kuota kepada anak yang lebih membutuhkan, yaitu para penerima KIP/KJP.

Khusus untuk perbaikan sistem PPDB tahun depan, Ubaid meminta agar hal itu dilakukan secara lebih berkeadilan. Dengan demikian, semua anak punya hak yang sama.

Untuk itu, Kemendikbudristek harus menghentikan sistem seleksi. Jangan sampai ada satu pun anak yang gagal dalam PPDB. Daya tampung sekolah harus disesuaikan dengan jumlah calon pendaftar.

“Karena itu, PPDB itu tidak boleh lagi sekolah negeri minded, harus juga melibatkan sekolah swasta,” tegas Ubaid.

Jika sistem di pusat berhasil dibenahi, selanjutnya pemerintah daerah wajib melanjutkan dengan melibatkan sekolah swasta. Hal itu penting untuk menyediakan daya tampung yang sesuai dengan jumlah calon peserta didik.

“Sebenarnya daya tampung sekolah itu tidak kurang jika sekolah negeri dan sekolah swasta itu semua dilibatkan dalam PPDB,” paparnya.

Kekurangan bangku terjadi karena pemerintah daerah hanya mengurusi sekolah negeri saja. Padahal, tugas pemeritah adalah membiayai, memfasilitasi, dan memastikan semua anak mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di semua jenis sekolah.

“Mau sekolah negeri maupun sekolah swasta,” pungkas Ubaid.

655 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *